Wednesday, 23 April 2014

Syair Drama Muda

Ingat sekali seperti malam ini disana. Angin besar jahil goyangkan dahan-dahan. Langit hitan dengan guratan-guratan awan. Kerlingan cahaya malam yang indah. Disaat itu syair drama muda terangkai senada.

Diatas tanah diseberang bukit pelangi. Dimana yang lainnya bercengkrama santai dengan waktu luangnya. Aku sendiri diam dalam keheningan malam. Menatap hamparan lampu-lampu kota. Laksana lukisan indah berlatar pegunungan kota hujan.

Cinta yang membangkitkan pena merangkai kata. Cinta penuh kesakitan. Pula cinta penuh kebahagiaan. Dimasa itu kumbang cacat tanpa sayap lahir dari rahim sang rasa kesendirian. Dibawah asuhan tangan hati yang slalu terkucilkan. Begitulah kuat syair drama muda tercipta.

Yang indah berlalu dengan cinta kasih yang tak pernah padam. Meninggalkan sosok kekaguman diatas kemurungan malam. Lalu kedewasaan kenangan berpikir tajam. Kenapa tidak kita abadikan untuk masa yang akan datang.

Selurung dunia kini tahu isi drama muda. Sebagian mencaci dengan emosi sedih dan bangga. Sebagian yang lainnya diam dalam alur yang membawanya ke gerbang lamunan. Begitulah pandainya drama muda menghipnotis hati yang haus akan makna cinta yang ada.


Tuesday, 22 April 2014

Earth

Padamu, Earth. Maafkan lah kami yang dengan sengaja memperkosa keindahanmu. Dengan sengaja mencabik-cabik keasrianmu. Dengan bagaimana kami harus memperbaiki kesucianmu kesediakala itu. Maafkan kami, earth.

Hijau yang seharusnya tetap hijau. Kini bagai pelangi datar dan kokoh kuat langit dituju. Kini bagai abu kusam menyelimuti pandangan selalu. Maafkan kami, earth.

Padamu, earth. Berhenti lah cipta karma. Sedikit kesalmu bahayakan hidup kami dimasa depan. Entah dengan apa buatmu bahagia. Kami telah terlanjur menanam benih kerusakan di rahim taman tanpa bunga. Maafkan kami, earth.

Padamu, earth. Sejenak biarkan kami merenung dalam duka. Siapa tahu luka membawa sadar diri yang dalam. Tetaplah engkau tenang, earth. Hijau tengah mereka lukis dimana-mana.

Padamu, earth. Maafkan lah kami selamanya. Dari kami yang takut bencana tapi suka dengan kesenangan. Dari kami anak-cucu masa depan.

Earth

Monday, 21 April 2014

Renungan Cemara Malam

Rintik hujan pandai berirama


Dingin datang undang kehangatan


Para jiwa riang bermain dalam hutan cemara


Tanpa tenda tanpa bekal mapan


Lalu tawa ringan kenyangkan kebersamaan


Tempat syair puisi berubah jadi kenangan


Lalu merenung lah dalam malam


Terkasih terpaut indah dalam hasrat indah cinta





Seringkali temu muka namun biasa


Rasa muncul dalam indahnya tatapan asmara


Tahukah engkau tentang kekaguman


Aku kagum tersembunyi engkau mengagumi terang-terangan


Ini masa kita diatas masa bahagia


Lalu kita terpisah bagai awan putih dan hitam


Mari sejenak renungkan renungan malam


Aku tersentak dalam lamunan


Engkau hilang berjalan jauh dari keramaian


Mereka tersenyum dalam dunia keanggunan


Kita dalam renungan malam.

Puisi Cinta

Sunday, 13 April 2014

Setia

Kita bicara tentang setia

Seperti kita bicangkan masa lalu yang terbelakang

Kita indah mengulang

Namun kita enggan kembali undang datang



Kita bicara tentang setia

Seperti apa yang kita inginkan

Lalu kita bertanya pada dunia

Apa yang dilakukan setia selanjutnya



Taukah engkau yang tengah idamkan kesetiaan

Kopi tanpa pemanis tiba saja manis

Malam dingin tiba saja jadi hangat

Siang panas tiba saja sejuk mengisi

Sakit mengilu tiba saja sembuh datang

Karna setia....



Sepertimana pujangga dalam bukunya

Puitisnya menjadi karna ada setia

Lalu bagaimana kita idamkan setia jika tak setia

Yang setia boleh bangga

Yang tersadar boleh tengok bahagia

Setia ada untuk kita yang idamkan dunia berbahagia bukan berbahaya

Setia

Thursday, 10 April 2014

Rindu Benci Cinta

Ketika cinta menghampiriku. Ia bagai pelangi diujung senjaku. Perlahan hadir indah memenuhi segala sudut pandangan hatiku. Begitu pun segala hari-hariku.

Lalu kemudian cinta menggoncangkan keasiakanku berdampingan denganmu. Maka hancur sudah diantara rindu cinta dan benci cinta itu. Maka termenung lah segala indahku dalam murung. Begitu hampa sudah dirasakan hariku tanpamu.

Ketika segala pahit terkenang selalu. Benci hampiri cinta itu. Namun rindu tidak lah benar musnah dalam benci cinta bergemelut. Karna meski cinta terbenci namun rindu semakin menggunung.

Ketika masa membawa pikir pengaruhi hati benci cinta itu. Sesungguhnya tak ada seorang pun mampu menyangkal rindu. Ya, mudah kita benci cinta namun tidak mudah benci rindu. Begitu lah indah cerita cinta hidup.

Dan kembali padaku. Aku. Kamu. Adalah boneka takdir seperti katamu. Adalah paling beruntung bagiku. Rindu Benci Cinta menghantarkan kita kembali dalam pelukan mulianya cinta yang menggunung.

Selaku Rama pada Shinta. Aku akan selalu mencintaimu selamanya Istriku. Juga kini cintaku padamu pujangga kecilku.

Rindu Benci Cinta

Wednesday, 9 April 2014

Takkan Pernah Ada Yang Seperti Kau Mimpikan

Ketika engkau katakan takkan pernah ada yang sempurna. Telah benar engkau pahami kah kata bijak itu disana. Telah benar engkau mengertikan kah kata bijak itu didalam benak kepalamu itu. Kasih…engkau yang sempat tempati jua miliki hati ini… Dengarlah apa yang ingin dikatakan hati yang sempat kau sayangi ini kemarin. Kucintaimu diatas rasa kasih sayang yang amat tulus. Namun mengapa kini engkau memilih tuk tinggalkanku disini hanya karna mungkin aku bukanlah bagian dari mimpimu itu. Hanya karna satu kekurangan yang kumiliki ini kini kau begitu amat ringan hati sepertinya tuk sakitiku. Hanya dengan melukaiku sepeti saat ini kah mimpimu itu terbentuk nyata tuk engkau rengkuh dan abadi tuk kau jadikan sandaran hidup matimu. 
Dengarlah engkau wahai satu kekasih yang kemarin sempat bahagiakanku jua yang kini tengah melukaiku. Pantaskah besarnya ketulusan yang dimiliki hati ini hanya bisa engkau jadikan bagai jembatan tuk kau meraih mimpi yang tak pernah kuketahui itu. Pantaskah aku yang amat mencintaimu tulus ini engkau campakan begitu saja diujung cerita ini. Pantaskah engkau yang berkata mencintaiku itu dengan teganya memperlakukanku tak lebih sekedar bagai gudang gandum bagi rakyat kelaparan disana. Dan pantaskah kini kukatakan engkau yang terbaik yang memahamiku daripada mereka mantan penghuni hatiku setelah kini disini kekejaman caramu meninggalkanku melebihi mereka tersebut.
Dengarlah engkau wahai satu kekasih yang kemarin sempat bahagiakanku jua yang kini tengah melukaiku. Tinggalkanlah aku juga segenap tentangku disini. Karna hati ini tak ingin biarkan segenap kebencian ini semakin memuncak padamu. Laksana sang awan guman yang tengah berjalan diatasku kini. Pergilah bersamanya tanpa harus menoleh kepadaku yang terluka kini. Tinggalkan aku dan cinta ini yang tak bisa membiarkanmu tetap tinggal disini.

Syair Kelaraan Murung Malam

Terkenang tetap lah terkenang bisu dalam kedamaian sang malam wahai sang rembulanku. Meredup lah engkau disandaran gemintang ketika tiada kuat engkau melihat kemurungan ini. Aku mengadu padamu dari sini. Tetap lah engkau tetap hampakan diriku yang sedetik pun pikirkan segala masa tentangnya disana.
Wahai engkau rembulan dan gemintang. Padamu saja aku mengadu keluh-kesah. Tiada yang mengerti keadaan ini. Namun aku tetap berusaha kuat berdiri ikuti apa mau cerita. Siapa yang perduli sedih laraku. Hanya senyuman yang diinginkannya. Lalu bagaimana hati bersastra indah bahagia bila tiada dimengerti dibahagiakan. Lalu kini aku hanya bisa menatap rumahmu. Yang keberadaanmu entah kemana. Lalu aku hanya bisa bersyair kelaraan hati dan jiwa. Tanpamu rembulanku. Tanpanya yang amat kusayangi dan kucintai selalu.

Menata Melati di Mahkotamu


Apa yang tertera dikening itu.
Boleh kah aku mengecupnya seperti biasanya.
Dengar kasih engkau terkasih.
Kumimpikan engkau kupeluk selamanya menjadi pilar keluarga kecil yang kan terbina kasih sayang kita.
Diam lah kasihku...
Ketika tangan ini belai mahkotamu. 
Aku kan berusaha rangkai melati disitu. 
Dan ucap lah setia padaku. 
Biarkan saja melati itu disitu hingga layu atau bila perlu membusuk. 
Terpenting untukmu cinta ini tetap kan abadi untukmu.
Aku merindukan hari menata melati dimahkotamu. 
Karna hanya engkau yang kuharapkan jadi penopang separuh hidupku

Sumpah Mati


Seribu sembilu maki mimpi
Hilangnya tusuki ceria diri
Kebarat hampa tiada daya
Ketimur lemas penuh derita

Kembali kini harap kembali
Tercinta lah engkau wahai peri
Mari bangun mimpi kembali
Eratkan peluk aku hingga kita mati

Pejam mata gemeretak jantung hati
Sumpah Mati...
Tak ingin kehilanganmu lagi
Tak ingin....

Jejak Meninggalkan Sebentuk Hati

Menangis lah hati dalam ketidak-berdayaannya. Hanya mampu pasrah dihakimi sang waktu yang tak memihak. Sastra-sastra hati yang pernah lantang ternyanyikan bagai luka bila diingat. Yang bagai sia-sia sampah yang tak bisa hancur dalam kurun waktu jutaan tahun.
Lalu kemana hati ini mengadu kesakitan ketika tiada satu pun perdulu. Hanya kemurungan kata lah terus tersyairkan kenangan.
Jejak meninggalkan sebetuk hati semakin pasti terjadi. Terikhlaskan sudah bila cinta memilih cinta lain itu. Dan hati hanya mampu bersandar pilu pada dinding yg penuh lumut nyeri dan menangis. Meratapi balasan atas kesetiaan yang selama ini ditimbang penuh kasih sayang yang tak pernah mau mati. Kini cinta durhaka pada hati.
Aku menangis... Menangis... Digembalai sang kehampaan abadi mungkin.

Terima Kasih


Selinap rasa baur reruntuhan masa. 
Menjangkau percaya abadi keatas mega. 
Terkasih engkau terkasih. 
Membuntukan ruang namun enggan tertutup.
Tangan mengalir luruh terus meluruh.
Ini bukan kata intelektualitas sastra.
Ini usungan hati bersastra.
Disini bukan ilmu dari guru.
Ini ilmu dari pengalaman dan waktu.
Terima kasih padamu yang mengakui keserhanaan kataku dijadikan kesempurnaan seni kata.
Tiada lepas kuberkarya indah tanpa diriya kekasih hati.
Dia lah segalanya bagiku.
Terima kasih salam bagimu sahabat-sahabat sesastra hati.
Terutama bagimu seluruh karyaku terdedikasikan, kasih hatiku.

Rindu Dibatas Takdir

Sudah aku menapaki jalan yang seharusnya dijalani. Sudah aku patuh pada peraturan hidup menuju bahagia. Sudah pula aku biarkan segala yang asam menggerogoti sedikit demi sedikit manis seharusnya kudapati. Laksana para rayap-rayap yang menggerogoti situs purbakala dengan tenang dan damainya hingga habis hilang bersama masa. Sudah sampai mana aku rindukan rindu indahnya. Rindu cantiknya. Sudahlah.
Berjalan ke depan dengan sesekali kutengok yang tertinggal memanggil dari belakang. Rindu dibatas Takdir. Aku rindukan segalanya dibatas takdir wajib indah hidup. Aku rindu dibatas takdir.
Bisahkah gumawan itu berhenti diatasku. Hujan lah bila ingin hujan. Aku menantikan dingin tenangku. Lalu aku akan cepat tersadar rindu hangatku. Lalu aku akan menjadi manusia hebat yang indah berasa dari dingin ingin menjadi hangat berangan nyata. Lalu aku akan berteriak pada keheningan malam. Aku rindu dibatas takdirku.

Mereka berkata bersyair. Mereka bercakap indah berpuisi. Mereka mencibir aku hanya manusia lemah pada takdir. Mereka, begitu mereka kejam pada hidupku. Biarlah biar begitu. Karna ini hidup rindu dibatas takdirku. Takdir yang kuhormati agar aku bisa hidup dengan tengangku.

Manusia Tak Beruntung

Tak kupedulikan usia kenal kami ini seusia cerahnya cakrawala di musim hujan di kota ini. Tak jua kuperdulikan kata mereka yang mengakatakan cinta hadir dari pertemuan pandangan mata yang nyata. Takkan jua pernah kan kuperdulikan seberapa banyak tangan-tangan penuh kinasihnya mereka itu yang ingin menyentuh hatinya lalu kemudian berhasratkan ingin memilikinya. Karna yang kuperdulikan tentangnya hanyalah sebatas apa yang ada didalam palung hati ini. Dimana hati hanya tahu kebaikannya dalam menghadapi manusia tak beruntung ini. Dimana hati tiba saja menebarkan segenap kepercayaan dalam diri tuk diletakkan diatas namanya. Dimanakah letak hati ini bersalah sikap tentangnya, cinta.
Puluhan kali kata cinta telah kulisankan padanya meski sebatas kata-kata diatas kaca bercahaya yang telah tertulis oleh pena tak bertinta. Puluhan kali itu jua kata tanggapnya entah hilang dan bersembunyi dimana.
Entah bermainkah… Entah meragukah… Entah merasa seperti tengah tersudutkan oleh segenap sang ketidakpantasan mencintanyakah… Entahlah mengapa kini ia memilih yang lain tuk ditempatkannya kedalam hatinya yang cantik serta indah itu. Memilih tinggalkan hati ini yang benar-benar mencintainya. Memilih membiarkan hati ini terdiam tanpa daya di ruang kelukaan yang terasa begitu amat penuh dengan udara perih jua nyeri.
Wahai engkau Pencinta cinta diatas kebenaran makna cinta yang hakiki… Maki lah manusia tak beruntung ini. Bila manusia tak beruntung ini telah salah bersikap. Manusia yang hanya bisa mengandalkan kata hatinya ketimbang apa kata penghuni isi tengkorak kepalanya. Manusia yang hanya tahu cinta itu adalah salah satu pilar yang paling utama diantara pilar-pilar penopang kehidupan ini yang lain. Manusia yang bodoh yang tak mengerti tindakan lain selain diam mematung diatas tangan sang kepasrahan jua sang ketulusan sebuah cara mencintai cinta ketika harus cinta yang dimilikinya tersebut membuatnya terluka.

Syair terakhir inilah yang sempat kusampaikan padanya kemarin ini sebelum air mata ini benar-benar meleleh karnanya…. Pikir menegak namun hati meracau lemah… terdiam diantara kepasrahan jua ketulusan. Menanti sebentuk kinasih namun yang tandang sekawanan perih… bibir tersenyum hati menangis…. Dan begitulah hati ini mensyairkan perasaan yang ada didalamnya tersebut tuk diumbarkan padanya. Hati yang begitu amat terluka karna telah dilemparnya ke dalam kubangan yang hampa akan rasa bahagia hanya karna hati ini telah berani katakan cinta yang dimilikinya didalam kejujurannya.
Kini satu yang sejatinya telah diketahui manusia tak beruntung ini disini. Bila sang penyair Libanon itu berkata serta menuliskan katanya tersebut diatas sayap-sayap patahnya…dimana bahwasannya sebahagia-bahagianya seorang penyair itu sesungguhnya ia akan tetap terbelenggu diatas sebuah penderitaan. Maka manusia tak beruntung ini pun akan sedikit angkuh tuk coba berkata dan menuliskannya diatas sepanjang balutan hatinya…dimana kebahagian sang pemuja jua penikmat syair terletak diatas penderitaan sang pembuat syair tersebut, dan kebahagian sang penyair itu terletak didalam kepedihan hatinya juga diatas kebahagian para mereka yang memuja jua menikmati syairnya tersebut.

Tuesday, 8 April 2014

Sang Awan, Angin, Bagi Bumi

Jatuhlah seluruh manisnya kehidupan warna-warni sang batin dalam jiwanya itu. Bila dalam keindahan peluk semunya dunia tak berkeabadian segenap makna yang tengah tercari sang pandangan-pandangan yang haus ini. Ataupun yang selalu senang hati ketika berada didalam buaian suara iblis-iblis yang tamak yang tengah berdesir di jalan pikir dalam kepalanya tersebut. Sedikitpun tak jua ingin menoleh satu kehidupan yang tengah berada dibawah berdirinya disana tuk dijadikannya sebuah renungan diri. Yang mungkin saja bisa membawannya masuk kedalam sebentuk gerbang pemahaman tentang bagaimana seharusnya makhluk hidup paling mulia dihadapan Sang Khalik selayaknya kita ini bisa mendekati sebentuk kata benarnya memperlakukan ia sesamanya yang keberadaannya tengah jauh berada dibawah berdirinya tersebut.

Para mereka yang jaya akan segala hal tentang keberadaannya yang duniawi itu. Yang telah dikatakan oleh orang-orang bijak itu adalah keberadaan yang bersifat semu. Seakan selalu dapatkan apa yang tak pernah didapatkan para mereka yang tengah berada di bawahnya. Sedangkan para mereka yang merana yang berada di bawah para mereka yang jaya tersebut. Hanya bisa menyenandungkan irama-irama senyuman kemunafikan. Dengan kepastian kemeranaannya para mereka yang merana itu. Merananya tersebut akan selalu ditutupinya dengan sebuah senyuman yang amat tawar jika harus lebih dalam dipandangi.
Jangan pernah mata itu dinyalangkan kembali. Jangan pernah kerutkan kening itu untuk berulang-ulang kali. Dan jua jangan ikuti segenap senyuman para mereka yang selalu berseluncur dengan kereta kepedihan warna nasibnya. Karna bagi sebagian dari para mereka yang terlanjur tenang dalam kepedihannya tersebut. Ia akan selalu tersenyum memandang segala sesuatu yang tengah ada di hadapannya. Kemunafikannya akan membubung tinggi setinggi derita yang tengah menancap dalam hatinya. Ia akan selalu mengelabui seluruh pandangan dengan mimik parasnya yang akan selalu tampak ceria penuh senyum kebahagiaan. Tak ada hal lain yang ditujunya selain memperkaya hatinya hingga berharap hatinya itu bisa membesar.
Jika tidak bisa dunianya dapat sejaya para mereka yang jaya. Namun terkadang hatinya banyak yang melarat itu. Maka ia pun akan lebih memilih tetap bertahan di dunianya yang penuh kesengsaraan tersebut. Namun mencoba tuk lebih memperkaya hati yang dimilikinya itu. Dan itu lebih baik daripada para mereka yang bisanya hanya selalu memandang orang-orang merana itu dengan pandangannya yang sebelah mata. Ataupun dengan pandangan kedua matanya yang tertutup atas jalan yang telah dipilih oleh para mereka yang merana tersebut.
Kontroversi jalan hidup memang akan selalu menghiasi kilasan-kilasan pikir dalam kepala. Juga menghiasi segenap bayang-bayang masa lalu. Sekarang. Ataupun nanti yang ternanti tuk diarungi disana itu.
Dan indahnya kata hati para mereka yang merana yang berada di bawah para mereka yang tengah jaya ataupun yang tengah indahnya duduk tumpang kaki dengan segenap kejayaannya itu. Kata hatinya itu akan tetap selalu bersembunyi tenang didalam palungnya yang dalam. Hingga saat dimana sang masa tiba waktunya coba menghilangkan segenap keberadaan berdirinya tersebut disana. Maka kata hati para mereka yang merana itupun akan dengan lancangnya sampai kepada seluruh para mereka yang jaya tersebut. Entah itu sebentuk pertanyaan kah, pernyataannya kah, hujatannya kah, ataukah hanya sebatas kata emosinya yang lebih mirip seperti secuil sambal kah? Entahlah….
Sang angin dan awan akan lebih memahami sang bumi daripada ia sang matahari, bulan, bintang, atapun ia segenap penghuni semestanya alam yang lainnya yang selalu berdiri jauh di atas dunianya. Yang tak sejenak pun ada singgah di dunianya yang kini tengah terkena dampak sang pemanasan global akibat para penghuninya itu sendiri yang telah berulah macam-macam. Namun bila mereka harus singgah kepadanya… maka hancurlah sudah segalanya. Maka biarlah tetap seperti itu adanya. Biarkan lah hidup ini mengalir di antara dua sisi yang berbeda adanya. Yang hingga akhir napas segenap para penghuni bumi ini pun jiwanya akan menetap di dua sisi ruang yang berbeda. Biarkan lah sang waktu yang menjawab dimana persamaan diantara dua sisi itu bertemu disana.
Disisi lain pandangan. Bila harus kembali perbincangkan sang angin dan awan itu. Siapakah ia yang tengah atau setidaknya akan menjadi sang angin bagi sang bumi itu kelak? Apakah ia itu ada diantara orang-orang terkasih yang ada disekitar berdiri raga? Ataukah ia itu adalah dirimu? Terpuji lah dirimu yang menjadi sang angin ataupun sang awan bagi sang bumi itu. Siapapun dirimu itu disana. (SH)

Tuesday, 1 April 2014

Hilang Sudah

Apa yang sudah kulakukan. Membiarkanmu menahan ngilu dalam hati. Laksana dinginnya salju dalam genggaman. Kau pendam jauh sakit ngilu jua perih dalam luas ruang kasih sayang. Sejahat itu kah aku memperlakukanmu diwaktu sana.

Kek.... Reruntuhan sesal menimbun air mataku. Tatkala kembali terbayang salah kecilku menganiaya ketenangan hatiku. Ingin rasanya aku membunuh diriku sendiri. Bagai para kesatria jepang selesaikan hidupnya diatas kehormatan.

Bukankah yang engkau pinta itu tak sesulit bagaimana engkau menyayangiku. Kenapa aku bisa sebodoh keledai tanpa otak itu. Harusnya kuikuti hal kecil inginmu itu. Maafkan aku....

Kini salahku ini bak tarian bidadari dengan tangan diberi pedang perunggu. Kaki dengan beralaskan ribuan paku. Menari ia menari kesenangan dalam hati dan batinku.

Kek, maafkan aku. Aku yang pernah buatmu seperti sebatang-kara meski sedetik waktu. Maafkan anak dari anakmu ini selalu. Aku teramat slalu meyanyangimu diluar satu khilaf egoku.

Kini tenanglah engkau dipelukan sanubariku. Kini maafkan lah aku diantara sgala salah dan sesalku. Kini hilang sudah.

Pujangga Kecil

Jika ingin hujan maka cepat basuh lah



Panas ini buatku lelah



Keringat bercucuran hilang arah



Di tempat ini kelak jadi tempat terindah



Ramai itu kian menapaki tanpa ramah



Tak apa aku tak perduli tak jadi masalah



Aku berjalan pulang hanya tuju pikir ke rumah



Disana pujangga kecilku tenang tunggu sang ayah



Syair mana yang bisa tenggelamkan hadirnya



Puisi mana yang mampu auliakan tampannya



Dan indah mana yang berani gantikan bahagianya



Pujangga kecil penguasa hati dan jiwa



Pujangga kecil pembawa keajaiban syair kehidupan



Pujangga kecilku afnan adiba



Pujangga kecilku sore ini terbaring lelap manja



Ditengah asuhan para malaikat



Disamping sang ayah yang tengah berpuisi tentangnya



Demi segala keindahan syurgawi yang terbentang



Demi segala pelengkap keindahan dunia yang terpandang nyata



Demi tanganku diatas kepalamu anakku tampan



Demi makna hadirmu disisiku engkau lah pilar utama bahagia dunia-akhirat yang kupunya.



Buku Pujangga











+Syarif Hermawan


+SyarifHermawan