Monday 25 April 2016

Dear Mantan, Maafkan Aku Yang Sekarang Ya!

Kisah ini dimulai dari sore itu. Sahabatku, Lala, terus merajuk meminta aku memenuhi keinginannya. Sebagaimana seharusnya perempuan muda menghabiskan masa remajanya. Aku pernah menjanjikannya sebuah janji mengajaknya jalan-jalan di sepanjang jalan kota dengan sebuah sepeda motor milik seorang laki-laki yang saat itu aku masih dalam masa pendekatan dengan laki-laki berusia di atas usia ku lima tahun tersebut. Dodi. Seorang laki-laki lugu dan baik. Seorang Pegawai salah-satu toko sepatu, tepat di sebelah toko pakaian dimana aku dan Lala saat ini bekerja. Kini kami sudah pacaran. Genap sudah hubungan kami tiga bulan.
Selama ini aku mengenal baik laki-laki yang katanya menyukaiku bukan karna aku itu menarik, ataupun aku itu selalu simpatik terhadap segala kesusahan orang-orang di sekitarku. Namun ia menyukaiku karna katanya ia melihat ada sisi yang beda selain daripada itu semua. Hingga suatu waktu ia cerita juga, menurutnya alasan kenapa ia bisa bersabar mendekatiku itu karna aku adalah tipe wanita yang mahal senyum tapi cantik, hatinya. Itu kenapa aku katakan ia lugu dan baik. Dodi tidak seperti kebanyakan laki-laki yang pernah mencoba mendekatiku karna satu alasan tertarik padaku. Ia lebih bersabar mendekatiku. Meski kadang aku selalu menyuguhinya wajahku yang asam, ia tetap tersenyum dan berkata; "Jutek kamu itu cuma bisa bikin hati laki-laki yang ada di depan dan di belakang aku yang lagi ada dalam baris antrian kamu ini jadi sakit! Tapi untuk aku? Lupakan!"
Jujur, ketika aku belum benar-benar mengetahui siapa laki-laki yang kini menjadi pacarku, yang terlintas dalam pikiranku, aku hanya ingin memanfaatkan keluguan dan kebaikannya saja. Itupun karna demi Lala. Demi janji itu. Maklum, kami hanya sepasang sahabat perempuan remaja dari keluarga yang kurang mampu. Hingga demi memuaskan kesenangan kami, kadang kami memakai fasilitas milik orang lain untuk memenuhi semua itu. Itupun atas ijin pemilik fasilitas tersebut.
Persis, disore itu. Karna aku sudah tidak tahan dengan rengekan manja Lala yang terus memelas padaku untuk memenuhi janjiku sebelumnya itu.
"Gue gimana ngomongnya, La? Gue malu ngomong sama Dodi-nya!" ujarku dengan nada suara yang serba-salah.
"Apa susahnya sih jadi Lu, Gita? Lu itu pacarnya dia, Lu tinggal ngomong doang; pinjam motornya, mau ada perlu! Gitu aja masa sih mesti malu, Ta?" Sahut Lala. Anggap Enteng.
Aku diam. "Ya okelah," jawabku lemas.
"Nah gitu dong! Ingat, janji itu hutang, Sayang!" Lala senang.
Hari itu kami pulang lebih awal. 14:03. Biasanya kami tutup toko pada jam delapan malam. Namun hari itu Pemilik toko tempat kami berkerja meminta tutup lebih awal, dengan alasan salah-satu kerabatnya ada uang mendapat musibah. Masuk IGD karna kecelakaan.
Lala pun serasa seperti seseorang yang sedang berulang tahun yang ke 17 tahun. Harusnya pulang cepat itu bisa senangkan hatinya, seperti aku. Tapi nyatanya dia masih belum senang. Ia kembali menagih janjiku. Ya, aku tidak bisa apa-apa, ini janjiku, ini salahku.
"Jadi kan,  Ta?" Tagih Lala. Bersemangat.
"Apa?" Sengaja aku pura-pura tidak tahu.
"Ayolah Ta, mokung sama cakung nih! Lagian, Dodi pulangnya kan masih lama!" 
"Momen mendukung sih iya, La! Tapi kalau cuaca mendukung itu terlalu lebay kayaknya, La!" Jawabku. "Tuh lihat, dari arah depan kita udah jelas kelihatan udah mendung,  La! " Sambungku.
"Kita kan gak akan pergi ke arah sana, Ta! Kita kan mau ke arah sana, kita putar-putar jalanan kota, terus kita berhenti dulu di taman tengah kota, kita lihat-lihat cowok-cowok keren dulu, terrruuusss..." Lala sudah seperti tukang obat yang belum laku.
"Terus? Terus apa alasan Gue bilang ke Dodi soal pinjem motornya?" Aku sedikit bingung. "Gue takut dikatain yang nggak-nggak, La!"
"Kenapa Lu mesti takut, Ta? Bukannya dulu waktu sebelum Lu jadian sama dia, Lu tuh cuma mau senang-senang doang?" Lala coba mengingatkan. "Gue perhatiin, se-udah Lu jadian sama dia, Lu tuh lebih banyak pake perasaan daripada pake tujuan Lu jadian sama dia, Ta! Jangan-jangan Lu...."
"Udah, jangan ceramah depan Gue! Malesin banget sih Lu jadi orang!" Sahutku ketus. Sembari beranjak masuk ke toko sebelah. Tempat Dodi bekerja. Meninggalkan Lala yang sedang diam berdiri di depan toko.
Didalam toko. Aku tidak melihat Dodi. Sesekali melihat ke luar toko, dimana motor Dodi terparkir disana. "Dodi kemana? Motornya ada tapi orangnya hilang! " kataku dalam hati.
Hingga bertemu lah aku dengan si Pemilik toko tempat Dodi bekerja tersebut. "Cari siapa, Jutek? Cari dodi si hati baja itu ya?" Tanya Pemilik toko tersebut sembari tertawa kecil.
"Ikh, apa sih bapak? Siapa yang jutek?" Sahutku sembari cemberut. Tersenyum. "Iya Pak, Gita lagi cari Dodi. Kemana dia, Pak? Boleh Gita ketemu sama dia, Pak?
"Boleh lah! Ada tuh di belakang. Lagi rapih-rapih gudang! Kesana saja!" Sahut Pemilik toko yang berdarah warga keturunan tersebut.
Tanpa basa-basi lagi. Aku beranjak berjalan menemui Dodi. Dan sesampainya di pintu ruangan tempat Dodi berada. Di gudang toko tersebut.
"Dodol!" Sahutku.
"Iya?" Teriak Dodi dari kejauhan. Berasal dari sudut belakang ruangan gudang toko itu. Dan tidak lama kemudian terlihat Dodi muncul berjalan menghampiriku secepat sebisanya. "Iya, Sayang? Ada apa? Kamu kok udah rapih jam segini? Udah pulang? Kamu sakit?" Tanya Dodi terlihat khawatir. 
"Nggak, aku memang udah pulang, Ibu ada perlu, jadi toko terpaksa tutup lebih awal." Jawabku.
"Oh begitu," Dodi tersenyum. "Terus?"
Aku diam. Ingin menjawabnya tapi takut untuk mengatakannya. "Aku.... Aku mau pinjem...." Ragu-ragu. 
"Pinjem? Pinjem apa?" Tanya Dodi. "Pinjem uang? Ada nih!" Sambung Dodi sembari mengeluarkan dompet warna coklatnya dari saku belakang celana jeans-nya. "Berapa?" 
Inilah salah-satu sikap Dodi yang mampu merubah pola pikirku terhadap hubungan yang sedang kami jalani saat itu. Ia selalu memberi apa yang sedang aku butuhkan tanpa bertanya dahulu alasanku membutuhkan yang sedang kubutuhkan tersebut. Luar-biasanya lagi ia tidak pernah mengeluarkan sedikit pun kata-kata tentang apa yang pernah ia lakukan atau berikan kepadaku meski kami sedang berada diantara pertengkaran dengan emosi yang hebat. "Bukan! Bukan itu yang aku mau pinjam, Dodol!" Jawabku sembari tersenyum.
"Lalu?" Dodi kebingungan.
"Aku mau pinjam motor!"
"Motor? Mau kemana? Ya udah, aku antar! Ayo!"
"Biar, aku aja! Aku mau sama Lala!"
"Bawa sendiri? Berdua sama Lala? Tumben Sayang? Mau kemana?" Dodi terlihat semakin kebingungan. "Maaf Sayang, kali ini aku gak bisa kasih!"
"Kok gitu? Pelit!" Sahutku sedikit kesal.
"Bukannya pelit, Sayang. Tapi ya mau kemana dulu kamunya? Aku takut kamu kenapa-kenapa kalau bawa sendiri nanti!" Jawab Dodi sabar.
"Lebay banget sih Lu! Gue tuh udah gede, bukan anak kecil! Kalau gak mau kasih ya udah, gak usah lebay!" Ujarku yang kali itu sedikit emosi. Kesal.
Dodi diam. Menatap tepat ke arah wajahku dengan cukup lama.
"Mau kasih gak? Gue mau ke Bogor, saudara Gue ada yang meninggal! Kalau gak mau kasih, ya udah Gue naik kereta atau bis aja!" Jawabku. Saat itu aku berada dalam kekhilafan. Dimana aku sengaja mencari segala cara agar aku tidak lagi tertekan janji sendiri kepada Sahabat. 
Aku coba berpaling dari hadapan Dodi. Tapi....
"Ini!" Kata Dodi.
Aku urungkan niatku untuk berpaling dan pergi dari hadapannya. Aku lihat Dodi sedang memegang kunci motornya. Dengan aksesoris gantungan kunci berbentuk Panda yang pernah aku belikan di Mall dengan harga yang sangat murah.
Dodi menarik tanganku. Ia letakan kunci motor itu diatas telapak tanganku. Seraya ia berkata; "Yang aku tau matahari pagi memang slalu hangat, ketika ia terasa dingin, itu berarti ia sedang dihalangi langit mendung, dan itu biasa. Tapi jika dingin itu datang ketika dimusim kemarau, itu yang membuat hati siapa pun bertanya-tanya," Dodi tersenyum, "Maafin aku, ini kuncinya! Kamu berubah sekarang!" Dodi masih begitu manis ketika tersenyum saat itu.
Hancur. Berhamburan sudah hatiku. Terasa sakit begitu aku mendengar Dodi berkata seperti itu. Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikannya dibalik senyumannya saat itu. "Maafin aku, Sayang!" Ujarku berulang-ulang dalam hati, sembari pelan berpaling dari hadapannya. Berniat meningalkannya disitu.
Hingga tidak lama kemudian. Tiba-tiba Dodi memanggil namaku dengan sangat lembut.
Aku menoleh sejenak ke arahnya.
"Hati-hati!" Dodi mengingatkan.
Aku terdiam.
Kini terbalik. Dodi yang coba berpaling dan meninggalkan situasi yang kacau tersebut. Ia berjalan seperti seorang Karyawan yang sedang kehilangan pekerjaannya. Tanpa kembali menoleh padaku. Ia kembali ke tempat asal dimana ia pertama kali muncul untuk menghampiriku. Ia berjalan, berjalan, berjalan dan menghilang dibalik tumpukan dus-dus sepatu yang tertata rapih.
Aku bergegas pergi meninggalkan gudang toko itu. Tanpa lirik sana-sini. Sesampainya diluar toko. "Lama kali tuan putri ini! Habis ambil kunci motor atau habis berkencan dulu?" Goda Lala padaku. Sedikit kesal karna harus menunggu lama.
"Berisik Lu! Bawel!" Timpalku. Sembari menghampiri motor matic warna biru milik Dodi.
"Segitunya, jangan jutek-jutek, Non. Pacar, punya! Baik pula, masih aja suka jutek!" Sahut Lala.
"Diem Lu, Jones! Jadi atau kagak nih? Gue matiin lagi nih motor!" Ujarku mulai jutek.
"Alamaaak, Gue dikatain Jomblo Ngenes! Jahat banget mulut anda, Mak Lampir! Gue kutuk hubungan Lu sama Dodi putus, baru nyaho Lu!" Balas Lala sembari tertawa. Naik ke atas motor. Duduk dibelakangku.
"Terserah grandong aja mau apa juga boleh!" Balasku tuk kesekian kalinya."Pegangan yang kuat, La! Gue bakal bawa Lu keliling kota hanya dalam hitungan satu menit! " sambungku sembari tancap gas.
"Sinting Lu, Ta! Pelan-pelan, monyong!" Lala ketakutan.

***

Mendung yang awalnya hanya memayungi kota hanya sebagian. Kini menjadi rata. Tidak ada sedikitpun warna jingganta sore hari mengisi satu titik pun di kanvas langit.
"La, ngapain sih kita lama-lama disini? Balik yuk, La?" Bujukku.
"Ngapain lagi Ta kalau bukan lagi mejeng? Ini kan taman kota!" Sahut Lala sembari tengak-tengok kesana-kemari. "Tuh liat sama Lu, banyak cowok kece plus keren! Mau gak ya salah-satu dari mereka jadi pacar Gue, Ta?"
"Heuuhh, udah jones, sok cantik, kegatelan, ditambah pikun lagi, ngaca dulu dong, Non! Kita siapa?" Ejekku sembari tertawa.
"Emang dasar mak lampir, Lu! Mulut Lu kejam! " Lala cemberut.
"Udah yuk La, kita balik sekarang! Udah mau hujan nih!"
"Kenapa sih buru-buru? Emangnya Lu bilang apa ke Dodi buat alasan pinjem motornya?" Tanya Lala.
"Mau ngelayad saudara meninggal di bogor!"
Hah??! Lala terkejut. "Parah, Lu!"
Gerimis mulai turun. Kami pun bergegas pulang. Disepanjang jalan. Aku terus memikirkan bagaimana jadinya jika Dodi tahu aku sudah berani membohonginya. Dan ketika aku terus bertahan dengan momen yang rumit itu. Dipersimpangan lampu lalu-lintas. Aku tidak sedikitpun tahu-menahu bahwa didepanku yang bersinar itu adalah lampu lalu-lintas berwarna merah. Hingga tiba-tiba. Aku hanya mendengar jeritan Lala; "Awas mobil, Taaaa...." Lalu aku lihat tepat didepanku ada sebuah minibus. Lalu aku hilang keseimbangan. Lalu kami....

***

Luka ini. Luka yang tidak mau hilang dari wajahku! Luka yang aku dapat dari kecerobohan dan kejahatan cintaku dua tahun lalu! Cermin ini yang selalu mengingatkan aku akan masa kebodohan itu!
"Bunda, gak bosen ngaca terus? Emang apa yang bunda pikirin waktu lihat cermin disitu?" Tanya Suamiku.
"Cuma satu kalimat, Yah! Satu kalimat yang bunda terus pikirin dan diucap berulang-ulang dalam hati!" Jawabku.
"Kalimat sakti kah?" Tanya Suamiku sembari tersenyum.
"Lebih daripada sakti, Yah!"
"Boleh berbagi sama Ayah soal kalimat itu, Bun?"
Aku menganggukan kepalaku, seraya berkata; "Dear Mantan, maafkan aku yang sekarang ya!"
Suamiku tersenyum. Ia menarikku kedalam pelukannya. "Dodi yang dulu selalu memaafkanmu! Dodi yang sekarang pun akan tetap seperti itu!" Jawab bijaknya padaku. "Bunda selalu cantik dimataku, meskipun kenyataanya tidak cantik, kelak aku akan tetap melihat kecantikan Bunda diwajah Dinda anak kita! Dan itu cukup buat aku!"
"Makasih ya, Yah! Ayah memang pacar plus mantan plus suami aku yang baik!" Aku sedikit terharu. Dan tak terasa air mata pun ternyata siap terjun bebas.
Hingga pecah lah momen bahagia itu oleh sesosok suara tangisan bayi. Ya! Itu anak kami! Putri kami! Yang masih berusia 1 bulan 2 minggu. Dinda. Bahagia abadi dan sejati kami!
.






Sumber: Terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat dengan penceritaan dari sudut pandang yang berbeda.
Penulis : Arif JMSH
Alamat : http://arifjmsh.blogspot.com

Friday 22 April 2016

Peri Di Seberang Bukit Pelangi : Novel

....Langkah  kedua  kakiku  mencoba  mencari  ketenangan  ditengah keramaian Para Tawa dan serta para pelepas kejenuhan-kejenuhan   hari.   Tanganku   yang   telah   lama   menjadi   sahabat sejati  bagi  hati  ini  dalam  kesenangan  ataupun  dalam  kesedihan mencoba menuangkan seluruh isi hati yang tengah menggantung di   segenap   rasa   lewat   secarik   kertas   dan   sebatang Pena.
Terukirlah     untaian     kata     luapan     kata     hati     berparaskan kekaguman;
Matahari sengat gurat semangat
Tukar keringat harap terganti senja nanti
Jalani putaran waktu tanpa bertanya
Kucari ketenangan kucari keindahan hati
Mata tertegun terpaku engkau yang baru
Kebeliaan di tengah buruk kedewasaan
Hati tanyakan yang terpandangku
Engkaukah penyejuk hari kebosanan
Meski kucepat tepis rasa suka
Kali ini tak bisa kulakukan
Aku tak mampu cegah pikir hati
Kau terlalu anggun tuk terlupakan
Peri hati peri cantikku...
Bolehkah hati ini namaimu seperti itu
Akan aku panggil itu...
Meski dalam hatiku.
 ***


Matahari  berdiri  di  garis  senja  di  Kota  Hujan.  Pancaran cahaya kuning sayunya terbentur gunung pancar berlekuk-lekuk bergurat  seni  lukisan  alam. Lewati  raga yang  tak  sedikit  pun terberi  pijarannya.  Aku  yang  berdiri  di  atas  bukit  kaki  gunung pancar  di seberang  bukit  pelangi.  Tampak  kulihat  lagi  Peri  itu melangkah    seperti    benar-benar    Peri    yang   tengah    anggun terbang  di  atas  bukit  kaki  gunung  pancar  diseberang  bukit pelangi. Yang dilatari gunung pancar. Yang disoroti lampu jingga senja  dari  sang  pijaran  mentari  senja  di  samping  balik  gunung Kota  Hujan.  Langkahnya  semakin  dekati jiwa  yang  tak  mampu berontak  akan   keindahan  yang  tengah  disuguhkan  alam  tuk dampingi hadir langkahnya. Peri  Hati  berdiri  tak  jauh  dariku.  Peri  mulai  tersenyum. Tatapan matanya seperti sedang menyapa aku yang tiba saja tak mampu  tuk  berkata.  Hingga  tiba  suaranya  terdengar  untuk  kali pertamanya di ruang dengarku; “Apakah semua yang ada  di sini akan   bersikap   sama   sepertimu?  Hanya   bisa   terdiam   ketika pandangannya  dapati  yang  baru  sedang  ada   di   hadapannya. Ataukah  dari   diantara   yang   lain   itu,   hanya   dirimulah   yang bersikap seperti itu?” kata sapanya sembari tersenyum. Tangan kanannya menjulur ke arahku. Nantikan pinta balas jabat tangan dariku.
Secepat  mungkin  tangan  mencoba  membalas  pinta  jabat tangannya. “Adi,” seruku sembari tersenyum, “panggil saja aku seperti  itu!  Semua  yang  ada  di  sini  telah  terbiasa  memanggilku dengan  nama  itu!”  Laju   hentak   jantung   berdetak   kencang berpacu.  Hati  serasa  membubung  amat  tinggi.  “Jika  kau tak keberatan,  boleh  aku  tahu  namamu?”  tanyaku.  Senyuman  di bibir setia mendampingi.
Kedua   lesung   pipinya   nampak   semakin   nyata   terlihat. “Shesi,  Shesi  Aulianti!”  serunya.   Indah  suaranya   terdengar semakin   elok   terngiang   dalam   gendang   telinga   ketika   bibir merah    tak   bergincunya    mengecapkan    setiap    hurup-hurup namanya.  Manis  senyumannya  yang  belum  jua terputus  sudah pasti memabukan setiap mata yang berani memandangnya lama.
Meski Peri Hati telah memberikan namanya untuk tanyaku, akan  tetapi  entah  kenapa  hati  masih  tetap memanggilnya  Peri Hati  Peri  Cantik. Yang  nyata  terlihat;  matanya  sebening  kilauan cermin  dalam  mata air  yang  terkena  cahaya  matahari. Parasnya begitu  belia  tuk  terlukiskan  dalam  kata.  Senyuman  dalam bibir merahnya  semanis  lekukan  indah  pelangi  yang  terlihat  dalam keadaan   terbalik.   Kedua   lesung  pipinya   laksana   dua   titik penyimpan   keceriaan   yang   selama   ini   tak   habis-habisnya   ia tunjukan  kepada para pasang mata yang memandangnya. Rambutnya seperti ribuan dawai harpa-harpa sang Dewi kayangan. Sibakannya    seperti    tengah    melantunkan    irama keceriaan   lewat   jemari   sang   angin  dari   tiupan   sang   Dewi kayangan yang tengah menyentuh rambut hitamnya. Kelancangan hati pun tak disesali mata. Semua yang masuk dalam  ingatan  menyimpan  bukti  kekuatan  hati  berkata  tentang Peri. “Dirinya memang layak ternamai Peri Hati Peri Cantik. Peri yang telah membuatku tuk percayai hati sebelum nyata pandang. Peri  yang  memang  cantik  tuk  dampingi  sebuah  arti  keceriaan. Peri yang begitu mudah membuat pandangan ini menyuka.”
Tangan  sang  sahabat  sejati  bagi  hati  tuk  kedua  kalinya mencoba  mengauliakan kata hati lewat ukiran-ukirannya. Bersama  sang  jingga  senja  yang  perlahan  pudar  menghitam. Kata   hati   tertulis   di   sehelai kertas   putih   bergaris-garis   biru langit;
Tak kusangka
Hatiku benar namaimu di hati
Engkau benar bak peri
Melintasi sabana lintas kertas
Percik ceriamu tertabur disetiap langkahmu
Rentang sayapmu teduhkan pandangan
Senyum anggunmu buat hati luluh
Kebeliaanmu mudakan seluruh masa
Tepat hadirmu di tawarnya hari
Gores cerita nyata mewarnai
Teruslah ceriakan hati
Mata tak kan bosan mengagumi
Peri hati peri cantikku.
 ***


TUK PERI HATI

I

MESKI   KELUKAAN sempat   menerjang   benih cinta dan mengacau-balaukan  taburannya.  Namun akhirnya  cinta  ini  bisa bertumbuh    menjadi tunas.    Dan    kini    berubah    merindangi segenap  taman hati.  Akar-akarnya  menyelusup   merambat   di bantaran-bantaran   hati,   hingga   tak   mungkin   ada suatu   hal apapun  yang  bisa  dengan  mudah  menebangnya.  Dan  itupun  tak lepas dari peran pandangan Para Tawa yang  dangkal tentang isi hati    ini.    Yang    telah    memberikan    duka    dan    luka    sebagai pemupuknya.Cinta   mereka   telah   berubah   menjadi   arti   penyekat   tuk kedekatan   yang   selama   ini terwujud.   Dari   cinta   itu   hanya membuahkan suatu keterbatasan menyapa diantara mereka. Tak ada lagi   canda,   tawa,   keriangan,   apalagi   kemesraan   yang seharusnya   diberikan   sang   cinta   bagi mereka   yang   sedang memeluknya. Yang nyata terlihat dari mereka, sang cinta seperti memberi  sebuah dinding  penyekat  untuknya  saling  mencumbui seluruh rasa hati yang tengah mereka miliki. Dan akhir daripada itu,  tebalnya  dinding  tak  mampu  mereka  hadapi.  Mereka  saling membelakangi  dan memutuskan  tuk  tak  lagi  pertahankan  cinta yang  selama  ini  telah  memberi  mereka  ketidaktentuan rasa  di hati. 
Bersyukur   dan   terkutuklah   bagiku   yang   begitu   amat bahagia   ketika   mengetahui   Peri   Hati   tak terpeluk   lagi   cinta Kemal  sang  kumbang  yang  mendekati  kata  sempurna  itu.  Dan kembalilah  lagi semua  yang  pernah  hilang  dari  pandangan.  Peri Hati  kembali  seperti  apa  yang  pernah  ia  tunjukan sebelumnya. Senyuman  manisnya  seperti   telah  terlepas  dari  rantai-rantai yang  selama  ini  telah membelenggu  sayap-sayap  keceriannya. Tarian   cerianya   kembali   terlihat   bebas   tanpa   syarat   akan ketidakpastian    arah    angin    pandangan    yang    sempat    tak terkendali.Dan  bersama  bahagia  hati yang  tak  terkira  kini.  Meragulah bagi hatiku yang semakin dalam mencintai Peri Hati Peri Cantik. Keadaanku   seperti   semakin   menyadarkanku,   aku   yang   jauh berbeda    dengan    Kemal    yang pernah    menjadi    Kekasihnya. Keadaanku  bercermin  di  keadaan  Peri  hati  dan  Kemal.  Cinta membuatnya  berdiri  diantara  kekakuan  bertabiat  dalam  cerita. Meski kini cinta tak lagi mengikatnya namun putusnya tali cinta tak  bisa  mengubah  kedekatan  yang  selama  ini  mereka  miliki  itu kembali   ke sediakala.   Seperti   saat   kata   cinta   mereka   masih terbelenggu dalam hati. 
“Meski hati ini memeluk dalamnya cinta untuknya, namun aku  tak  pernah  menginginkan  semuanya berubah  menjadi  apa yang kini kurasa dan kulihat dari mereka!” bisik hatiku.Dalam  bisik  rayuan keraguan,  langkah  hati mencoba  terus dalami  indah  cinta  yang  dimiliki.  Tangan-tangan  cinta  seperti semakin  memeluk  dekap  erat  hati  yang  bahagia  meski  Peri  Hati ataupun  Para  Tawa  tak  pernah tahu tentang  cinta  yang  sedang memayungi hari-hariku.Aku  dan  Peri  Hati  semakin  dekat.  Jarak  kami  tak terbatasi rekan  kerja.  Tak  tersekati  tabiat  raga  yang  menyimpan  cinta sendirian.  Hingga  tanpa tersadari  pikir,  kedekatan  kami  yang telah terbina dengan sedemikian rupa itu, ternyata telah menjadi buah  bibir  bagi  Para  Tawa.  Mereka  bagai  seekor ayam  yang tengah   mencabik-cabik   sebidang tanah   tuk   mencari   seekor cacing  tuk  memenuhi  hasrat  lapar  perutnya.  Pandangan  mereka seakan selalu   tak   henti   mencari   titik   pusat   alasan   tentang kedekatan  yang  telah  kami  ciptakan  itu.
Hingga  suatu  ketika salah  satu dari  mereka,  Para  Tawa, Rifki  Ramdhani,  mencoba mencari jalan pemuas  tuk seluruh rasa kepenasarannya. Aku dan Rifki  duduk  di  bawah  payungan  awan  yang  sedikit mendung. Jauh dari sebagian Para Tawa yang lain. Jauh dari Peri hati yang tengah satu canda dengan mereka sekaumnya.
“Kau bisa lihat dia? Sungguh, dia memang cantik!” ujarnya. Pandangannya  tak  lepas  dari  Peri  Hati  yang  tengah  dilingkari penuh senyuman, “seandainya saja dia belum tahu bahwasanya aku sudah punya kekasih, aku pasti akan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya!” Pandangannya beralih menatap ke arahku.  Setia  menunggu  bibirku  tergerak  berkata  untuk  masuk ke dalam topik pembicaraannya.
“Hanya lelaki berjiwa wanitalah yang tak menyukai sesosok wanita   seperti   Shesi   Aulianti!   Dan   hanya lelaki yang   buta matanyalah  yang  tak  menyukainya,  baik  disaat  pertama  kali  ia melihatnya  ataupun untuk  yang  kesekian  kalinya!”  ujarku sembari tersenyum.
“Jadi  selama  ini  kau  menyukainya?”  katanya  terkejut.
“Apakah  kau  sudah  mengatakan  kepadanya,  bahwa  kau menyukainya?”  sambung  katanya.  Tatapan matanya  tampak bergairah menunggu jawabanku.
“Untuk apa aku mengatakannya? Tanpa harus kukatakan pun aku yakin dia pasti akan tahu dengan sendirinya!” kataku sembari tertawa kecil.
Rifki Ramdhani terdiam dalam kebisuannya.
Kebingungannya yang  tengah  berdiri di  atas  rasa kepenasarannya   telah   membuat   dirinya   harus mengerutkan keningnya.
“Kenapa  diam?  Bukankah  yang  sempat  kau  tanyakan kepadaku   itu   adalah   sebuah   kata; menyukai,   dan   bukanlah sebuah  kata;  mencintai?”  ujarku  sembari  tersenyum.  “Aku menyukainya seperti halnya aku menyukaimu. Jika memang aku tak  menyukaimu,  untuk  apa  aku  harus  kenal denganmu?  Dan jika memang kata menyukai itu harus disamakan makna adanya dengan  kata  mencintai, lebih  baik  aku  tak  menyukai  dirimu ataupun   lelaki   yang   lain,   karna   sampai   saat   ini   aku   adalah seorang lelaki yang masih normal!” kataku berkelakar. Mencoba mempengaruhi  kepenasarannya  tentang kedekatanku  dan  Peri Hati tuk menghilang dari pikirannya.
Tertawa  dan  mengangguk-nganggukan  kepalanya  menjadi suatu  tanda  bagiku  bahwa  sesungguhnya Rifki  Ramdhani  telah masuk  dalam  perangkapku.  Terkelabui  kata  suka  yang  sempat aku katakan padanya.
Secepat hembusan angin yang tengah melintas di depanku, inti  dari  pembicaranku  dan  Rifki  tersebar  luas kepada  mereka Para  Tawa.  Bukan  karna  aku  yang  telah  memperdagangkannya, seperti  selayaknya seorang  pedagang  buah  jeruk  yang  sedang menjajakan    buah    jeruk    manis    di    tangannya kepada    para pelanggan  tuk  dicobanya,  sedangkan  buah  yang  akan  dijualnya dalam  pikulan  tak  lebih  dari  buah-buah  yang  masih  mentah. Atau bukan pula ada yang telah merekam pembicaraan kami itu, seperti halnya para pembajak karya-karya tangan para seniman. Namun karna selain itu telah menjadi kekurangan dari diri Rifki, tapi itu juga telah menjadi tujuannya mendekatiku dan berlanjut perbincangkan masalah itu denganku. Hingga dari kebocorannyalah   semua   penghuni   dunia   di   atas   bukit   kaki gunung  pancar  terkelabui  karna  sebuah  kata  suka  yang  sempat aku keluarkan itu. Manakala  Para Tawa  telah  benar  terkelabui kata  sukaku, jiwa  terasa  seperti  sedang  ditarik-tarik  oleh  tangan- tangan dari kedua   sisi   hati.   Satu   sisi   pikir   hati   meminta   cinta   yang disimpannya   cepat   dikatakan   meski   tanpa   harus   dipenuhi hasratnya  tuk  memiliki  Peri  Hati,  cukup  asanya  yang  diminta agar Peri tahu  kebenaran  adanya.  Dan  di  satu  sisi  hati  yang  lain seakan  mencegah  apa  yang  ingin dilakukannya  karna  berbagai alasan yang coba menakuti keadaan yang sudah cukup baik.
“Kini  cintaku  benar  adanya.  Cinta  ini  hanya  perlu pengakuannya  tanpa  harus  memperdulikan  hasrat hati  ini  tuk miliki  hatinya.  Namun  cinta  ini  tak  kuasa  tegar  bila  kebenaran tentang  cinta  ini  telah terungkap  olehnya  lewat  kejujuranku, akan  membuat  dirinya  berubah  sikap  dari  yang  sedang  aku rasakan kini. Dan biarkanlah semua berjalan seperti apa adanya kini, tanpa harus dirusak oleh kejujuran kata hati yang mungkin akan  membuatnya  jauh  dari  senyuman-senyuman  yang  selama ini    bertaburan. Dan biarkanlah    cinta    ini    bertahan    dalam kedustaan,    kemunafikan    dan    berdiri    tenang    di  belakang hatinya.” Kata  hatiku  terlontar  di  pandangan  yang  tak  henti kagumi    semua    yang    dimiliki    Peri Hati    dan    yang    telah diberikannya   kepada   siang   hari   tuk   mempercantik   pijaran matahari yang tak lelah berkerja.
Salahlah    bagi    hati    yang    benar    mencinta    yang    tulus mencinta  namunpaksakan  yang  tercinta tuk  bisa  dimiliki.  Dan bersalahlah  bagi  hati  yang  benar  mencinta  bila  tulusnya  tak cukup hanya dapatkan apa yang terbaik bagi yang dicintainya.Termuliakanlah   derajat   hati,   bila   dari   tulusnya  relakan manisnya  bahagia  jadi  pahitnya  bencana,  hanya  demi  satu  tuju tuk segenap kebahagiaan yang tulus dicintainya.
***
II
III
*** 

PERI HATI PERI CANTIK

 I
II
III
***

MASA SESAL 

 I
II
III
***

PENUTUPAN

*-* 

 Baca Novel Lengkap;
PDSBP18

Penulis: Arif JMSH
Koleksi : Novel Lainnya
Penerbit: Jmsh Words

Sunday 17 April 2016

Cerita Cinta: Sad Love In My Heart.


Moment Remaja. - Semu berjalan melihat perjalan hidup yang tak henti menimbang duka, ceria dalam kisah keluarga, asmara, pendidikan, dan pertemanan. Kalau di andai kata kapan bumi akan berhenti dari era yang seperti ini, sobat, dimana semua berakhir dengan sedikit kebahagiaan, aku yang jenuh dengan hidup sekarang ini, ingin sekali memeluk bintang di awan, datang dan memegang tangan TUHAN untuk membiarkan aku datang ke rumah-NYA yang sangat indah itu, kamu pasti tak tau apa yang sekarang aku alami, begitu pahit yang kurasakan semua bercampur saat aku tau apa yang akan terjadi di kehidupan ku, aku tidak mengeluh apapun pada Sang Pencipta melainkan aku akan terus mengucapkan SYUKUR kepada-NYA. Aku yang bernama Agatha Celino Apri, panggil saja nama ku AGA, aku berumur 16th, sekarang aku duduk di kelas 2 SMA, aku hidup di keluarga yang bisa di bilang tidak harmonis, walaupun aku hidup di Keluarga yang sangat mewah aku tetap saja tak peduli dengan itu semua, mengingat semua kata-kata orang tentang Mamaku, membuat telinga terasa terbakar. Papa selalu kerja tanpa melihat waktu, sehingga papa jarang pulang, mama selalu pulang dengan membawa laki-laki simpanan, aku selalu menangis melihat kejadian ini, aku selalu bersabar menghadapi rintangan ini, bila aku pulang dari sekolah jam 6 sore aku hanya melihat Bang Frans di ruang belajarnya, sejak Bang Frans melihat tingkah Mama dan Papa seperti ini Bang Frans tak pernah bercakap-cakap lagi dengan Mama dan Papa, kalau dengan ku dia hanya berbicara sepentingnya saja. Aku seperti hidup di goa yang gelap, tak berpenghuni. Mungkin kali benar bahwa di balik tangis ada rasa senang “percaya pada-NYA”. Selama aku bersekolah tak ada yang tulus berteman dengan ku, karna kulihat mereka hanya menguras kekayaan ku, termasuk Mantan-mantan ku, semuanya sama, aku tak menyalahkan siapun, hanya aku akan mencari yang tulus berteman denganku.
Saat jam istirahat di sekolah aku berdiam diri di perpustakaan, membaca buku yang mempelajari tentang kehidupan. Aku berjalan mencari buku yang ku cari dengan judul “Life Is One Choice”, saat aku mengambil buku itu aku terjatuh dan tiba-tiba ada Siswa yang memegangku,
“Kamu gak papa.?” Ujar Cowok tersebut memandangku.
Aku yang saat itu terkesima melihat wajahnya yang begitu manis, dengan lesung pipit yang sangat dalam.
“Oww…hmm makasih ya,” ujar Aga yang bergegas berdiri dan memperbaiki diri.
“Oh,gak apa-apa kamu harus lebih hati-hati lagi, kalau gak sampai, kamu harus minta tolong,” ujar Cowok itu yang sepertinya gugup, mukanya sedikit memerah.
“Iyaa…makasih ya,” ujar Aga
“Aku pergi dulu, lain kali hati-hati” ujar Cowok itu tersenyum dan meninggalkan aku sendiri di rak buku yang begitu besar.
Saat aku terdiam memikirkan kejadian yang sebentar ini, aku terkejut karena lupa menanyakan siapa namanya, cowok itu tak pernah terlihat olehku di sekolah ini apalagi aku yang sebagai penghuni perpustakaan ini, tidak pernah melihatnya, apa dia anak baru, terus terang aku suka melihat gayanya berbicara denganku walaupun hanya beberapa kata. Aku pergi ke kelas karena bel masuk untuk pelajaran selanjutnya akan dimulai, selama aku bersekolah aku selalu mendapat juara umum, aku tak ingin membuat Papa dan Mamaku kecewa atas prestasiku, pernah saat itu aku lomba Olimpiade ke Thailand dan saat itu aku menang menjadi juara, Mama dan Papa tidak ada merespon sedikitpun, hanya Bang Frans yang mengucapkan selamat padaku dan memberi aku boneka yang sangat besar, mentraktir ku makan, Abangku itu kalau soal akademi dia akan selalu mendukung karena dia sekarang berada di Fakultas Kedokteran di Singapura, aku sangat bangga dengan saudaraku itu, dan aku ingin juga berada di jurusan Kedokteran di Inggris.
Hari ini aku selalu mengucapkan syukur pada TUHAN karena aku selalu di beri kesehatan pada hari ini. Sore ini aku pulang sendiri,,saat aku menyeberang untuk melintasi jalan sebuah mobil hampir menabrakku, terkejut.
“Aaaa....!!!” ujar Aga yang langsung meneteskan air mata dan menutup matanya.
Seseorang keluar dari mobil .....“Kamu ngapain melintas jalan sembarangan,” ujar Lelaki itu dengan sopan.
Aku membuka mataku, agar aku bisa melihat sosok itu.
“Lohh kamu,” ujar Lelaki itu
“Kamu mau nabrak aku ya?,” ujar Aga yang kesal.
“Loh kok salahin aku, udah tau ada mobil dari arah sana, melamun juga nyebrangin jalan, itu kan salah kamu,” ujar Lelaki itu
Lelaki itu adalah siswa yang membantu aku tadi pagi saat di perpustakaan.
“Perlu aku bantuin gak,” ujar Lelaki itu tersenyum,penuh dengan senyuman.
“Iyaa lah..” ujar Aga memeberikan tangannya
“Kamu mau pulang kan, aku antar ya, sebagai tanda maaf ku,” ujar Lelaki itu
“Hmm,gak usah aku bisa sendiri kok,” ujar Aga yang tak mau menyusahkan Lelaki itu.
Lelaki itu terdiam.
“Daa, aku bisa balik sendiri kok,” ujar Aga sambil meninggalkan si Lesung Pipi itu.
Saat aku berjalan kiranya dia mengikuti, dia membujukku agar aku mau masuk ke mobilnya.
“Ayolah, masuk aja..” ujar Lelaki itu.
Aku mengacuhkannya dengan mendengarkan musik, sehingga aku tak mendengarnya, saat aku menundukkan kepala, tiba-tiba dia datang ke depanku dan melepaskan headsetku, aku terkejut.
“Ini sudah malam, kamu sebaiknya naik ke mobil ku, oke” ujarLaki-laki itu.
“Kamu maksa nihh, orang aku gak kenal sama kamu, minggir…!” ujar Aga agak kesal
“Aga, Abang kamu udah nyuruh kamu untuk pulang,” ujar Lelaki itu.
“Darimana kamu tau, dasar tukang maksa sok tau lagi…week,,pegi gihh” ujar Aga yang tak percaya.
Lelaki itu memegang tanganku dan memasukkanku ke mobil. Di dalam mobil aku memberontak tapi aku akhirnya diam juga karena tatapannya itu.
“Nama ku Chiko, kamu Aga kan?” ujar Chiko memperkenlkan namanya.
“Iya!”ujar Aga kesal.
Chiko menggeleng-gelengkan kepala dengan tersenyum.
Sesampainya di rumah....
“Terima kasih!” Ujarku dan menutup pintu mobil dan pergi.
Keluar dari mobil “Sama-sama, titip salam buat Bang Frans ya,” ujar Chiko sambil melambaikan tangan.
“Isss….sok kenal,” ujarku yang bĂȘte.
Membuka pintu..
“Abang!! Abang??....” ujarku berteriak.
“Apa sihh,”ujar Bang Frans
“Siapa sih si Chiko itu,” ujarku
“Ohh,itu adik kelasku, dulu tim kesehatan di SMP, dia temenku juga, kamu gak boleh membrontak dengan dia, ngerti Aga, dia yang akan ngawasin kamu selama Abang di Singapura,” ujar Bang Frans.
“Tapi kan Abang masih lama ke Singapura,” ujar Aga takut di tinggal oleh Frans.
“Siapa bilang, Abang besok berangkat, penerbangannya jam 9 pagi, jadi kamu harus baik-baik di sekolah ya, trus jaga diri kamu,” ujar Bang Frans yang memelukku dengan erat.
Bang frans sepertinya tak ingin meninggalkan aku sendiri di rumah ini, karena aku lihat dia sangat erat memelukku. Aku pun balik membalas pelukan, cium persaudaraan dan tangisan yang membasahi pipi ku, walau mendengar sedikit bisikan tangis dari Abang tercintaku. Malam ini aku tak bisa tidur karena aku merasa semakin gelap di hidup ini.
Pagi ini aku tidak pergi sekolah, karena aku ingin mengantarkan Bang Frans ke bandara. Di sepanjang jalan aku selalu memegang tangannya dan memeluknya sesekali.
Di bandara..09.00 WIB.
“Abang pergi dulu ya Aga,, jaga pesan Abang yaa,” ujar Frans.
“Abang…jangan lupa kasih kabar yaa,” ujar Aga managis.
Tiba tiba Chiko datang tergesa-gesa untuk melihat keberangkatan Frans.
“Bang, maaf aku terlambat! Bang, semoga sukses ya di sana,” ujar chiko dan member pelukan persahabatan.
Saat beberapa langkah pergi, Frans melihat ke arah Aga yang tengah sedih melihatnya, Frans sadar bahwa hanya dia lah sandaran Aga selama ini, apalagi dengan situasi keluarga yang semakin menjadi-jadi. Aga berlari dan memeluk Frans sekuat-kuatnya.
“Bang, Aga ikut Abang aja, Aga takut sendiri di sini Bang..plisss Bang bawa Aga, Aga takut melawan hari hari ini tanpa Abang Aga, Bang Fraanss..hiks…hiks,” ujar Aga yang nangisnya tak kuasa.
“Aga, Aga Abang.., Ko tolongg,” ujar frans yang tak kuasa melihat adiknya melawan tingkah keluarga sendiri setelah ia pergi dan ia meminta Chiko untuk menahan Aga.
“Haaa…haa..lepasinn lepasin…Bang Frans, Aga mohon bawa Aga, Bang,,”ujar Aga
“Aga, biarin Bang Frans pergi..”ujar Chiko memegang kedua tangan Aga.
“Jaga Aga buat Abang ya, aku nitipin dia ya,” ujar Frans memegang pundak Chiko.
“Iyaa, Bang” ujar Chiko.
Akhirnya Frans pergi dengan berat hati yang tak tertahan, Frans sangat sedih, tetapi dia agak senang karena Chiko bakalan ada di samping Aga..
“Lepasin aku, Ko…aku mau pergi…Chikoo!!! Lepasin!!!” ujar Aga yang menangis, terduduk melihat kepergian Abang semata wayang.
“Sabar, Ga,” ujar Chiko
Aga menagis di dada chiko, tak kuasa menangis.
Kisah sedih Agatha belum berakhir ..
Tunggu part selanjutnya…
Salam penulis,
Kritik dan saran sangat membantu.



Sumber;
Penulis:
Tulis Cerita Momentmu di; MomentKu

Sunday 10 April 2016

Daftar Label 2 - Jangan dihapus

Artikel Ilmu, Cerita Inspiratif, Cerita Lucu, Cerita Persahabatan, Kisah Nyata, Moment Bahagia, Moment Gokil, Moment Sedih, News, Puisi Patah Hati, Puisi Persahabatan, Puisi Romantis, Puisi Umum, Spesial Ramadhan, Penulis Momentku, Label: Puisi Persahabatan
oke kita coba lagi
dan
hasilnya
tereeeeeetttt
sukses euuuyyy
hahaha

Penulis: afnan Febriansyah
Url      : http://arifjmsh.blogspot.com

Daftar Label - Jangan Publikasikan!

Artikel Ilmu, Cerita Inspiratif, Cerita Lucu, Cerita Persahabatan, Kisah Nyata, Moment Bahagia, Moment Gokil, Moment Sedih, News, Puisi Patah Hati, Puisi Persahabatan, Puisi Romantis, Puisi Umum, Spesial Ramadhan, Film, Serba-serbi, Tips-Trik,

ini adalah label MRB. Jangan pernah dihapus. Kalau di tambah boleh, tapi ditambah juga di menu edit tampletenya.

Friday 1 April 2016

Fakta Unik: Pasca pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta

Moment Remaja tidak akan membahas perihal Film ADA APA DENGAN CINTA 2 yang akan tayang akhir April (28/4) tahun ini. Namun kita akan membahas perihal Fakta Unik menyangkut Film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Fakta-fakta yang terjadi di dunia remaja setelah munculnya film AADC (8/2/2002) ini.
Ada Apa Dengan Cinta Movie 1 and 2

    Fakta unik yang menyangkut seputar film AADC. Atau dengan kata lain: Fakta Unik Pasca pemutaran film AADC.  
    Setelah Film Ada Apa Dengan Cinta tayang, ada beberapa perubahan besar-besaran yang terjadi pada dunia remaja, khususnya remaja putri. Berikut fakta unik yang terjadi di dunia remaja kala itu hingga masih terjadi hingga sekarang;
    Sumber pict: Google Publik
    Seragam SMA AADC. Jika diteliti. Lihatlah cara berpakaian seragam Cinta and Genk's di film AADC 1#.
    Baju seragam yang tidak rapih, tidak dimasukan ke pinggang rok. Kaos kaki nyaris mencekik lutut. Serentak jadi trend di dunia berpakaian seragam remaja putri di tahun 2002-an, dan hingga sekarang pun masih terihat cara berpakaian ala AADC itu digunakan oleh para remaja putri. Meski mungkin kenyataanya sebenarnya mereka tidak tahu  sama sekali sebenarnya cara berpakaian seragam tersebut memang berawal dari Cinta and Genk's dalam film AADC. Itulah fakta uniknya.



    Penulis : Arif Jmsh
    Url       : http://arifjmsh.blogspot.com

    Thursday 31 March 2016

    Suka Ngeluh Soal Nasib? Pikirkan Dahulu Sebelum Melakukannya!

    Trend remaja saat ini, selain insomnia, adalah diam manis di depan smartphone. Terkadang senyum-senyum sendiri. Terkadang cemberut. Terkadang tertawa lepas. Terkadang menangis sejadi-jadinya. Itu wajar, karna begitulah jika manusia sedang mengekspresikan emosinya.
    Diluar moment-moment penuh rasa bahagia. Pernahkah kita berada di satu moment nasib yang membuat kita sedih, kecewa, dan akhirnya marah lalu berlanjut mengeluh tentang nasib yang sedang menimpa diri kita pada saat itu? Jika kita terus mencari tahu disini apa yang akan terjadi setelah kita mengeluhkan nasib kita tersebut. Mungkin kita akan banyak berpikir keras untuk melakukan hal mudah itu.
    Sejatinya, mengeluh itu adalah sebagian dari sikap seseorang yang tidak pernah bisa bersyukur terhadap apa yang sedang menimpanya. Hingga sikap atau mungkin telah menjadi bagian dari sipat dirinya tersebut selalu jadi alasan utamanya untuk terus asik melakukannya.
    Seharusnya bisa dipahami. Bahwasanya mengeluh bisa mengakibatkan dampak negatif bagi orang yang melakukannya juga sekaligus bagi orang-orang disekelilingnya. Bagaimana bisa? Sangat bisa sekali!
    Dengan cara meluapkan emosi atau kekecewaan lewat mengumbar kata-kata mengeluh, setidaknya bukan akan memperbaiki keadaan yang ada. Namun akan menambah kerumitan keadaan yang memang sudah rumit. Bukan akan menjadikan keadaan yang saat itu buruk menjadi baik apalagi lebih baik. Namun akan menjadikan yang buruk menjadi lebih buruk lagi. Itulah hal negatif yang akan terjadi kepada seseorang yang suka mengeluh.
    Hal negatif bagi orang-orang disekeliling si Pengeluh? Mudah untuk kita ambil contohnya. Cobalah sedikit tengok trend remaja sekarang. Dimana SosMed atau Sosial Media seperti; Facebook, Twitter, Part, Instagram, Line, BBM, Whatsapp, dan sebagainya, menjadi lahan subur bagi para Pengeluh melakukan hobby mengeluhnya. Lalu jika kita sebagai orang-orang di sekitarnya apa yang akan kita dapatkan? Pasti simpatik yang muncul, itu jika si Pengeluh baru kita dapatkan kata-kata mengeluhnya untuk kali pertamanya. Bagaimana jika kita tahu si Pengeluh tersebut adalah memang seorang Pengeluh sejati? Ketika kita mendapatkan si Pengeluh tersebut mengeluh dan keluhannya tersebut memenuhi ruang penglihatan kita atau pendengaran, pasti kita akan terganggu dan yang lebih parah lagi adalah sebal. Kadang bisa jadikan kita benci dan sinis terhadap si Pengeluh tersebut.
    Kesimpulannya. Mengeluh itu sangat merugikan bagi siapa pun. Bagi seseorang yang melakukannya ataupun bagi mereka orang-orang di sekelilingnya. Yang jelas, rugi terbesar ada di tangan si Pengeluh.
    Tidak terlambat jika kini kita sadar bahwa hal sepele yaitu mengeluh ternyata bisa mendatangkan hal buruk yang besar. Terutama sekali bagi jalinan sosial yang selama ini terjalin sangat baik.