Kisah ini dimulai dari sore itu. Sahabatku, Lala, terus merajuk meminta aku memenuhi keinginannya. Sebagaimana seharusnya perempuan muda menghabiskan masa remajanya. Aku pernah menjanjikannya sebuah janji mengajaknya jalan-jalan di sepanjang jalan kota dengan sebuah sepeda motor milik seorang laki-laki yang saat itu aku masih dalam masa pendekatan dengan laki-laki berusia di atas usia ku lima tahun tersebut. Dodi. Seorang laki-laki lugu dan baik. Seorang Pegawai salah-satu toko sepatu, tepat di sebelah toko pakaian dimana aku dan Lala saat ini bekerja. Kini kami sudah pacaran. Genap sudah hubungan kami tiga bulan.
Selama ini aku mengenal baik laki-laki yang katanya menyukaiku bukan karna aku itu menarik, ataupun aku itu selalu simpatik terhadap segala kesusahan orang-orang di sekitarku. Namun ia menyukaiku karna katanya ia melihat ada sisi yang beda selain daripada itu semua. Hingga suatu waktu ia cerita juga, menurutnya alasan kenapa ia bisa bersabar mendekatiku itu karna aku adalah tipe wanita yang mahal senyum tapi cantik, hatinya. Itu kenapa aku katakan ia lugu dan baik. Dodi tidak seperti kebanyakan laki-laki yang pernah mencoba mendekatiku karna satu alasan tertarik padaku. Ia lebih bersabar mendekatiku. Meski kadang aku selalu menyuguhinya wajahku yang asam, ia tetap tersenyum dan berkata; "Jutek kamu itu cuma bisa bikin hati laki-laki yang ada di depan dan di belakang aku yang lagi ada dalam baris antrian kamu ini jadi sakit! Tapi untuk aku? Lupakan!"
Jujur, ketika aku belum benar-benar mengetahui siapa laki-laki yang kini menjadi pacarku, yang terlintas dalam pikiranku, aku hanya ingin memanfaatkan keluguan dan kebaikannya saja. Itupun karna demi Lala. Demi janji itu. Maklum, kami hanya sepasang sahabat perempuan remaja dari keluarga yang kurang mampu. Hingga demi memuaskan kesenangan kami, kadang kami memakai fasilitas milik orang lain untuk memenuhi semua itu. Itupun atas ijin pemilik fasilitas tersebut.
Persis, disore itu. Karna aku sudah tidak tahan dengan rengekan manja Lala yang terus memelas padaku untuk memenuhi janjiku sebelumnya itu.
"Gue gimana ngomongnya, La? Gue malu ngomong sama Dodi-nya!" ujarku dengan nada suara yang serba-salah.
"Apa susahnya sih jadi Lu, Gita? Lu itu pacarnya dia, Lu tinggal ngomong doang; pinjam motornya, mau ada perlu! Gitu aja masa sih mesti malu, Ta?" Sahut Lala. Anggap Enteng.
Aku diam. "Ya okelah," jawabku lemas.
"Nah gitu dong! Ingat, janji itu hutang, Sayang!" Lala senang.
Hari itu kami pulang lebih awal. 14:03. Biasanya kami tutup toko pada jam delapan malam. Namun hari itu Pemilik toko tempat kami berkerja meminta tutup lebih awal, dengan alasan salah-satu kerabatnya ada uang mendapat musibah. Masuk IGD karna kecelakaan.
Lala pun serasa seperti seseorang yang sedang berulang tahun yang ke 17 tahun. Harusnya pulang cepat itu bisa senangkan hatinya, seperti aku. Tapi nyatanya dia masih belum senang. Ia kembali menagih janjiku. Ya, aku tidak bisa apa-apa, ini janjiku, ini salahku.
"Jadi kan, Ta?" Tagih Lala. Bersemangat.
"Apa?" Sengaja aku pura-pura tidak tahu.
"Ayolah Ta, mokung sama cakung nih! Lagian, Dodi pulangnya kan masih lama!"
"Momen mendukung sih iya, La! Tapi kalau cuaca mendukung itu terlalu lebay kayaknya, La!" Jawabku. "Tuh lihat, dari arah depan kita udah jelas kelihatan udah mendung, La! " Sambungku.
"Kita kan gak akan pergi ke arah sana, Ta! Kita kan mau ke arah sana, kita putar-putar jalanan kota, terus kita berhenti dulu di taman tengah kota, kita lihat-lihat cowok-cowok keren dulu, terrruuusss..." Lala sudah seperti tukang obat yang belum laku.
"Terus? Terus apa alasan Gue bilang ke Dodi soal pinjem motornya?" Aku sedikit bingung. "Gue takut dikatain yang nggak-nggak, La!"
"Kenapa Lu mesti takut, Ta? Bukannya dulu waktu sebelum Lu jadian sama dia, Lu tuh cuma mau senang-senang doang?" Lala coba mengingatkan. "Gue perhatiin, se-udah Lu jadian sama dia, Lu tuh lebih banyak pake perasaan daripada pake tujuan Lu jadian sama dia, Ta! Jangan-jangan Lu...."
"Udah, jangan ceramah depan Gue! Malesin banget sih Lu jadi orang!" Sahutku ketus. Sembari beranjak masuk ke toko sebelah. Tempat Dodi bekerja. Meninggalkan Lala yang sedang diam berdiri di depan toko.
Didalam toko. Aku tidak melihat Dodi. Sesekali melihat ke luar toko, dimana motor Dodi terparkir disana. "Dodi kemana? Motornya ada tapi orangnya hilang! " kataku dalam hati.
Hingga bertemu lah aku dengan si Pemilik toko tempat Dodi bekerja tersebut. "Cari siapa, Jutek? Cari dodi si hati baja itu ya?" Tanya Pemilik toko tersebut sembari tertawa kecil.
"Ikh, apa sih bapak? Siapa yang jutek?" Sahutku sembari cemberut. Tersenyum. "Iya Pak, Gita lagi cari Dodi. Kemana dia, Pak? Boleh Gita ketemu sama dia, Pak?
"Boleh lah! Ada tuh di belakang. Lagi rapih-rapih gudang! Kesana saja!" Sahut Pemilik toko yang berdarah warga keturunan tersebut.
Tanpa basa-basi lagi. Aku beranjak berjalan menemui Dodi. Dan sesampainya di pintu ruangan tempat Dodi berada. Di gudang toko tersebut.
"Dodol!" Sahutku.
"Iya?" Teriak Dodi dari kejauhan. Berasal dari sudut belakang ruangan gudang toko itu. Dan tidak lama kemudian terlihat Dodi muncul berjalan menghampiriku secepat sebisanya. "Iya, Sayang? Ada apa? Kamu kok udah rapih jam segini? Udah pulang? Kamu sakit?" Tanya Dodi terlihat khawatir.
"Nggak, aku memang udah pulang, Ibu ada perlu, jadi toko terpaksa tutup lebih awal." Jawabku.
"Oh begitu," Dodi tersenyum. "Terus?"
Aku diam. Ingin menjawabnya tapi takut untuk mengatakannya. "Aku.... Aku mau pinjem...." Ragu-ragu.
"Pinjem? Pinjem apa?" Tanya Dodi. "Pinjem uang? Ada nih!" Sambung Dodi sembari mengeluarkan dompet warna coklatnya dari saku belakang celana jeans-nya. "Berapa?"
Inilah salah-satu sikap Dodi yang mampu merubah pola pikirku terhadap hubungan yang sedang kami jalani saat itu. Ia selalu memberi apa yang sedang aku butuhkan tanpa bertanya dahulu alasanku membutuhkan yang sedang kubutuhkan tersebut. Luar-biasanya lagi ia tidak pernah mengeluarkan sedikit pun kata-kata tentang apa yang pernah ia lakukan atau berikan kepadaku meski kami sedang berada diantara pertengkaran dengan emosi yang hebat. "Bukan! Bukan itu yang aku mau pinjam, Dodol!" Jawabku sembari tersenyum.
"Lalu?" Dodi kebingungan.
"Aku mau pinjam motor!"
"Motor? Mau kemana? Ya udah, aku antar! Ayo!"
"Biar, aku aja! Aku mau sama Lala!"
"Bawa sendiri? Berdua sama Lala? Tumben Sayang? Mau kemana?" Dodi terlihat semakin kebingungan. "Maaf Sayang, kali ini aku gak bisa kasih!"
"Kok gitu? Pelit!" Sahutku sedikit kesal.
"Bukannya pelit, Sayang. Tapi ya mau kemana dulu kamunya? Aku takut kamu kenapa-kenapa kalau bawa sendiri nanti!" Jawab Dodi sabar.
"Lebay banget sih Lu! Gue tuh udah gede, bukan anak kecil! Kalau gak mau kasih ya udah, gak usah lebay!" Ujarku yang kali itu sedikit emosi. Kesal.
Dodi diam. Menatap tepat ke arah wajahku dengan cukup lama.
"Mau kasih gak? Gue mau ke Bogor, saudara Gue ada yang meninggal! Kalau gak mau kasih, ya udah Gue naik kereta atau bis aja!" Jawabku. Saat itu aku berada dalam kekhilafan. Dimana aku sengaja mencari segala cara agar aku tidak lagi tertekan janji sendiri kepada Sahabat.
Aku coba berpaling dari hadapan Dodi. Tapi....
"Ini!" Kata Dodi.
Aku urungkan niatku untuk berpaling dan pergi dari hadapannya. Aku lihat Dodi sedang memegang kunci motornya. Dengan aksesoris gantungan kunci berbentuk Panda yang pernah aku belikan di Mall dengan harga yang sangat murah.
Dodi menarik tanganku. Ia letakan kunci motor itu diatas telapak tanganku. Seraya ia berkata; "Yang aku tau matahari pagi memang slalu hangat, ketika ia terasa dingin, itu berarti ia sedang dihalangi langit mendung, dan itu biasa. Tapi jika dingin itu datang ketika dimusim kemarau, itu yang membuat hati siapa pun bertanya-tanya," Dodi tersenyum, "Maafin aku, ini kuncinya! Kamu berubah sekarang!" Dodi masih begitu manis ketika tersenyum saat itu.
Hancur. Berhamburan sudah hatiku. Terasa sakit begitu aku mendengar Dodi berkata seperti itu. Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikannya dibalik senyumannya saat itu. "Maafin aku, Sayang!" Ujarku berulang-ulang dalam hati, sembari pelan berpaling dari hadapannya. Berniat meningalkannya disitu.
Hingga tidak lama kemudian. Tiba-tiba Dodi memanggil namaku dengan sangat lembut.
Aku menoleh sejenak ke arahnya.
"Hati-hati!" Dodi mengingatkan.
Aku terdiam.
Kini terbalik. Dodi yang coba berpaling dan meninggalkan situasi yang kacau tersebut. Ia berjalan seperti seorang Karyawan yang sedang kehilangan pekerjaannya. Tanpa kembali menoleh padaku. Ia kembali ke tempat asal dimana ia pertama kali muncul untuk menghampiriku. Ia berjalan, berjalan, berjalan dan menghilang dibalik tumpukan dus-dus sepatu yang tertata rapih.
Aku bergegas pergi meninggalkan gudang toko itu. Tanpa lirik sana-sini. Sesampainya diluar toko. "Lama kali tuan putri ini! Habis ambil kunci motor atau habis berkencan dulu?" Goda Lala padaku. Sedikit kesal karna harus menunggu lama.
"Berisik Lu! Bawel!" Timpalku. Sembari menghampiri motor matic warna biru milik Dodi.
"Segitunya, jangan jutek-jutek, Non. Pacar, punya! Baik pula, masih aja suka jutek!" Sahut Lala.
"Diem Lu, Jones! Jadi atau kagak nih? Gue matiin lagi nih motor!" Ujarku mulai jutek.
"Alamaaak, Gue dikatain Jomblo Ngenes! Jahat banget mulut anda, Mak Lampir! Gue kutuk hubungan Lu sama Dodi putus, baru nyaho Lu!" Balas Lala sembari tertawa. Naik ke atas motor. Duduk dibelakangku.
"Terserah grandong aja mau apa juga boleh!" Balasku tuk kesekian kalinya."Pegangan yang kuat, La! Gue bakal bawa Lu keliling kota hanya dalam hitungan satu menit! " sambungku sembari tancap gas.
"Sinting Lu, Ta! Pelan-pelan, monyong!" Lala ketakutan.
***
Mendung yang awalnya hanya memayungi kota hanya sebagian. Kini menjadi rata. Tidak ada sedikitpun warna jingganta sore hari mengisi satu titik pun di kanvas langit.
"La, ngapain sih kita lama-lama disini? Balik yuk, La?" Bujukku.
"Ngapain lagi Ta kalau bukan lagi mejeng? Ini kan taman kota!" Sahut Lala sembari tengak-tengok kesana-kemari. "Tuh liat sama Lu, banyak cowok kece plus keren! Mau gak ya salah-satu dari mereka jadi pacar Gue, Ta?"
"Heuuhh, udah jones, sok cantik, kegatelan, ditambah pikun lagi, ngaca dulu dong, Non! Kita siapa?" Ejekku sembari tertawa.
"Emang dasar mak lampir, Lu! Mulut Lu kejam! " Lala cemberut.
"Udah yuk La, kita balik sekarang! Udah mau hujan nih!"
"Kenapa sih buru-buru? Emangnya Lu bilang apa ke Dodi buat alasan pinjem motornya?" Tanya Lala.
"Mau ngelayad saudara meninggal di bogor!"
Hah??! Lala terkejut. "Parah, Lu!"
Gerimis mulai turun. Kami pun bergegas pulang. Disepanjang jalan. Aku terus memikirkan bagaimana jadinya jika Dodi tahu aku sudah berani membohonginya. Dan ketika aku terus bertahan dengan momen yang rumit itu. Dipersimpangan lampu lalu-lintas. Aku tidak sedikitpun tahu-menahu bahwa didepanku yang bersinar itu adalah lampu lalu-lintas berwarna merah. Hingga tiba-tiba. Aku hanya mendengar jeritan Lala; "Awas mobil, Taaaa...." Lalu aku lihat tepat didepanku ada sebuah minibus. Lalu aku hilang keseimbangan. Lalu kami....
***
Luka ini. Luka yang tidak mau hilang dari wajahku! Luka yang aku dapat dari kecerobohan dan kejahatan cintaku dua tahun lalu! Cermin ini yang selalu mengingatkan aku akan masa kebodohan itu!
"Bunda, gak bosen ngaca terus? Emang apa yang bunda pikirin waktu lihat cermin disitu?" Tanya Suamiku.
"Cuma satu kalimat, Yah! Satu kalimat yang bunda terus pikirin dan diucap berulang-ulang dalam hati!" Jawabku.
"Kalimat sakti kah?" Tanya Suamiku sembari tersenyum.
"Lebih daripada sakti, Yah!"
"Boleh berbagi sama Ayah soal kalimat itu, Bun?"
Aku menganggukan kepalaku, seraya berkata; "Dear Mantan, maafkan aku yang sekarang ya!"
Suamiku tersenyum. Ia menarikku kedalam pelukannya. "Dodi yang dulu selalu memaafkanmu! Dodi yang sekarang pun akan tetap seperti itu!" Jawab bijaknya padaku. "Bunda selalu cantik dimataku, meskipun kenyataanya tidak cantik, kelak aku akan tetap melihat kecantikan Bunda diwajah Dinda anak kita! Dan itu cukup buat aku!"
"Makasih ya, Yah! Ayah memang pacar plus mantan plus suami aku yang baik!" Aku sedikit terharu. Dan tak terasa air mata pun ternyata siap terjun bebas.
Hingga pecah lah momen bahagia itu oleh sesosok suara tangisan bayi. Ya! Itu anak kami! Putri kami! Yang masih berusia 1 bulan 2 minggu. Dinda. Bahagia abadi dan sejati kami!
.
Sumber: Terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat dengan penceritaan dari sudut pandang yang berbeda.
Penulis : Arif JMSH
Alamat : http://arifjmsh.blogspot.com
No comments:
Post a Comment