Friday 22 April 2016

Peri Di Seberang Bukit Pelangi : Novel

....Langkah  kedua  kakiku  mencoba  mencari  ketenangan  ditengah keramaian Para Tawa dan serta para pelepas kejenuhan-kejenuhan   hari.   Tanganku   yang   telah   lama   menjadi   sahabat sejati  bagi  hati  ini  dalam  kesenangan  ataupun  dalam  kesedihan mencoba menuangkan seluruh isi hati yang tengah menggantung di   segenap   rasa   lewat   secarik   kertas   dan   sebatang Pena.
Terukirlah     untaian     kata     luapan     kata     hati     berparaskan kekaguman;
Matahari sengat gurat semangat
Tukar keringat harap terganti senja nanti
Jalani putaran waktu tanpa bertanya
Kucari ketenangan kucari keindahan hati
Mata tertegun terpaku engkau yang baru
Kebeliaan di tengah buruk kedewasaan
Hati tanyakan yang terpandangku
Engkaukah penyejuk hari kebosanan
Meski kucepat tepis rasa suka
Kali ini tak bisa kulakukan
Aku tak mampu cegah pikir hati
Kau terlalu anggun tuk terlupakan
Peri hati peri cantikku...
Bolehkah hati ini namaimu seperti itu
Akan aku panggil itu...
Meski dalam hatiku.
 ***


Matahari  berdiri  di  garis  senja  di  Kota  Hujan.  Pancaran cahaya kuning sayunya terbentur gunung pancar berlekuk-lekuk bergurat  seni  lukisan  alam. Lewati  raga yang  tak  sedikit  pun terberi  pijarannya.  Aku  yang  berdiri  di  atas  bukit  kaki  gunung pancar  di seberang  bukit  pelangi.  Tampak  kulihat  lagi  Peri  itu melangkah    seperti    benar-benar    Peri    yang   tengah    anggun terbang  di  atas  bukit  kaki  gunung  pancar  diseberang  bukit pelangi. Yang dilatari gunung pancar. Yang disoroti lampu jingga senja  dari  sang  pijaran  mentari  senja  di  samping  balik  gunung Kota  Hujan.  Langkahnya  semakin  dekati jiwa  yang  tak  mampu berontak  akan   keindahan  yang  tengah  disuguhkan  alam  tuk dampingi hadir langkahnya. Peri  Hati  berdiri  tak  jauh  dariku.  Peri  mulai  tersenyum. Tatapan matanya seperti sedang menyapa aku yang tiba saja tak mampu  tuk  berkata.  Hingga  tiba  suaranya  terdengar  untuk  kali pertamanya di ruang dengarku; “Apakah semua yang ada  di sini akan   bersikap   sama   sepertimu?  Hanya   bisa   terdiam   ketika pandangannya  dapati  yang  baru  sedang  ada   di   hadapannya. Ataukah  dari   diantara   yang   lain   itu,   hanya   dirimulah   yang bersikap seperti itu?” kata sapanya sembari tersenyum. Tangan kanannya menjulur ke arahku. Nantikan pinta balas jabat tangan dariku.
Secepat  mungkin  tangan  mencoba  membalas  pinta  jabat tangannya. “Adi,” seruku sembari tersenyum, “panggil saja aku seperti  itu!  Semua  yang  ada  di  sini  telah  terbiasa  memanggilku dengan  nama  itu!”  Laju   hentak   jantung   berdetak   kencang berpacu.  Hati  serasa  membubung  amat  tinggi.  “Jika  kau tak keberatan,  boleh  aku  tahu  namamu?”  tanyaku.  Senyuman  di bibir setia mendampingi.
Kedua   lesung   pipinya   nampak   semakin   nyata   terlihat. “Shesi,  Shesi  Aulianti!”  serunya.   Indah  suaranya   terdengar semakin   elok   terngiang   dalam   gendang   telinga   ketika   bibir merah    tak   bergincunya    mengecapkan    setiap    hurup-hurup namanya.  Manis  senyumannya  yang  belum  jua terputus  sudah pasti memabukan setiap mata yang berani memandangnya lama.
Meski Peri Hati telah memberikan namanya untuk tanyaku, akan  tetapi  entah  kenapa  hati  masih  tetap memanggilnya  Peri Hati  Peri  Cantik. Yang  nyata  terlihat;  matanya  sebening  kilauan cermin  dalam  mata air  yang  terkena  cahaya  matahari. Parasnya begitu  belia  tuk  terlukiskan  dalam  kata.  Senyuman  dalam bibir merahnya  semanis  lekukan  indah  pelangi  yang  terlihat  dalam keadaan   terbalik.   Kedua   lesung  pipinya   laksana   dua   titik penyimpan   keceriaan   yang   selama   ini   tak   habis-habisnya   ia tunjukan  kepada para pasang mata yang memandangnya. Rambutnya seperti ribuan dawai harpa-harpa sang Dewi kayangan. Sibakannya    seperti    tengah    melantunkan    irama keceriaan   lewat   jemari   sang   angin  dari   tiupan   sang   Dewi kayangan yang tengah menyentuh rambut hitamnya. Kelancangan hati pun tak disesali mata. Semua yang masuk dalam  ingatan  menyimpan  bukti  kekuatan  hati  berkata  tentang Peri. “Dirinya memang layak ternamai Peri Hati Peri Cantik. Peri yang telah membuatku tuk percayai hati sebelum nyata pandang. Peri  yang  memang  cantik  tuk  dampingi  sebuah  arti  keceriaan. Peri yang begitu mudah membuat pandangan ini menyuka.”
Tangan  sang  sahabat  sejati  bagi  hati  tuk  kedua  kalinya mencoba  mengauliakan kata hati lewat ukiran-ukirannya. Bersama  sang  jingga  senja  yang  perlahan  pudar  menghitam. Kata   hati   tertulis   di   sehelai kertas   putih   bergaris-garis   biru langit;
Tak kusangka
Hatiku benar namaimu di hati
Engkau benar bak peri
Melintasi sabana lintas kertas
Percik ceriamu tertabur disetiap langkahmu
Rentang sayapmu teduhkan pandangan
Senyum anggunmu buat hati luluh
Kebeliaanmu mudakan seluruh masa
Tepat hadirmu di tawarnya hari
Gores cerita nyata mewarnai
Teruslah ceriakan hati
Mata tak kan bosan mengagumi
Peri hati peri cantikku.
 ***


TUK PERI HATI

I

MESKI   KELUKAAN sempat   menerjang   benih cinta dan mengacau-balaukan  taburannya.  Namun akhirnya  cinta  ini  bisa bertumbuh    menjadi tunas.    Dan    kini    berubah    merindangi segenap  taman hati.  Akar-akarnya  menyelusup   merambat   di bantaran-bantaran   hati,   hingga   tak   mungkin   ada suatu   hal apapun  yang  bisa  dengan  mudah  menebangnya.  Dan  itupun  tak lepas dari peran pandangan Para Tawa yang  dangkal tentang isi hati    ini.    Yang    telah    memberikan    duka    dan    luka    sebagai pemupuknya.Cinta   mereka   telah   berubah   menjadi   arti   penyekat   tuk kedekatan   yang   selama   ini terwujud.   Dari   cinta   itu   hanya membuahkan suatu keterbatasan menyapa diantara mereka. Tak ada lagi   canda,   tawa,   keriangan,   apalagi   kemesraan   yang seharusnya   diberikan   sang   cinta   bagi mereka   yang   sedang memeluknya. Yang nyata terlihat dari mereka, sang cinta seperti memberi  sebuah dinding  penyekat  untuknya  saling  mencumbui seluruh rasa hati yang tengah mereka miliki. Dan akhir daripada itu,  tebalnya  dinding  tak  mampu  mereka  hadapi.  Mereka  saling membelakangi  dan memutuskan  tuk  tak  lagi  pertahankan  cinta yang  selama  ini  telah  memberi  mereka  ketidaktentuan rasa  di hati. 
Bersyukur   dan   terkutuklah   bagiku   yang   begitu   amat bahagia   ketika   mengetahui   Peri   Hati   tak terpeluk   lagi   cinta Kemal  sang  kumbang  yang  mendekati  kata  sempurna  itu.  Dan kembalilah  lagi semua  yang  pernah  hilang  dari  pandangan.  Peri Hati  kembali  seperti  apa  yang  pernah  ia  tunjukan sebelumnya. Senyuman  manisnya  seperti   telah  terlepas  dari  rantai-rantai yang  selama  ini  telah membelenggu  sayap-sayap  keceriannya. Tarian   cerianya   kembali   terlihat   bebas   tanpa   syarat   akan ketidakpastian    arah    angin    pandangan    yang    sempat    tak terkendali.Dan  bersama  bahagia  hati yang  tak  terkira  kini.  Meragulah bagi hatiku yang semakin dalam mencintai Peri Hati Peri Cantik. Keadaanku   seperti   semakin   menyadarkanku,   aku   yang   jauh berbeda    dengan    Kemal    yang pernah    menjadi    Kekasihnya. Keadaanku  bercermin  di  keadaan  Peri  hati  dan  Kemal.  Cinta membuatnya  berdiri  diantara  kekakuan  bertabiat  dalam  cerita. Meski kini cinta tak lagi mengikatnya namun putusnya tali cinta tak  bisa  mengubah  kedekatan  yang  selama  ini  mereka  miliki  itu kembali   ke sediakala.   Seperti   saat   kata   cinta   mereka   masih terbelenggu dalam hati. 
“Meski hati ini memeluk dalamnya cinta untuknya, namun aku  tak  pernah  menginginkan  semuanya berubah  menjadi  apa yang kini kurasa dan kulihat dari mereka!” bisik hatiku.Dalam  bisik  rayuan keraguan,  langkah  hati mencoba  terus dalami  indah  cinta  yang  dimiliki.  Tangan-tangan  cinta  seperti semakin  memeluk  dekap  erat  hati  yang  bahagia  meski  Peri  Hati ataupun  Para  Tawa  tak  pernah tahu tentang  cinta  yang  sedang memayungi hari-hariku.Aku  dan  Peri  Hati  semakin  dekat.  Jarak  kami  tak terbatasi rekan  kerja.  Tak  tersekati  tabiat  raga  yang  menyimpan  cinta sendirian.  Hingga  tanpa tersadari  pikir,  kedekatan  kami  yang telah terbina dengan sedemikian rupa itu, ternyata telah menjadi buah  bibir  bagi  Para  Tawa.  Mereka  bagai  seekor ayam  yang tengah   mencabik-cabik   sebidang tanah   tuk   mencari   seekor cacing  tuk  memenuhi  hasrat  lapar  perutnya.  Pandangan  mereka seakan selalu   tak   henti   mencari   titik   pusat   alasan   tentang kedekatan  yang  telah  kami  ciptakan  itu.
Hingga  suatu  ketika salah  satu dari  mereka,  Para  Tawa, Rifki  Ramdhani,  mencoba mencari jalan pemuas  tuk seluruh rasa kepenasarannya. Aku dan Rifki  duduk  di  bawah  payungan  awan  yang  sedikit mendung. Jauh dari sebagian Para Tawa yang lain. Jauh dari Peri hati yang tengah satu canda dengan mereka sekaumnya.
“Kau bisa lihat dia? Sungguh, dia memang cantik!” ujarnya. Pandangannya  tak  lepas  dari  Peri  Hati  yang  tengah  dilingkari penuh senyuman, “seandainya saja dia belum tahu bahwasanya aku sudah punya kekasih, aku pasti akan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya!” Pandangannya beralih menatap ke arahku.  Setia  menunggu  bibirku  tergerak  berkata  untuk  masuk ke dalam topik pembicaraannya.
“Hanya lelaki berjiwa wanitalah yang tak menyukai sesosok wanita   seperti   Shesi   Aulianti!   Dan   hanya lelaki yang   buta matanyalah  yang  tak  menyukainya,  baik  disaat  pertama  kali  ia melihatnya  ataupun untuk  yang  kesekian  kalinya!”  ujarku sembari tersenyum.
“Jadi  selama  ini  kau  menyukainya?”  katanya  terkejut.
“Apakah  kau  sudah  mengatakan  kepadanya,  bahwa  kau menyukainya?”  sambung  katanya.  Tatapan matanya  tampak bergairah menunggu jawabanku.
“Untuk apa aku mengatakannya? Tanpa harus kukatakan pun aku yakin dia pasti akan tahu dengan sendirinya!” kataku sembari tertawa kecil.
Rifki Ramdhani terdiam dalam kebisuannya.
Kebingungannya yang  tengah  berdiri di  atas  rasa kepenasarannya   telah   membuat   dirinya   harus mengerutkan keningnya.
“Kenapa  diam?  Bukankah  yang  sempat  kau  tanyakan kepadaku   itu   adalah   sebuah   kata; menyukai,   dan   bukanlah sebuah  kata;  mencintai?”  ujarku  sembari  tersenyum.  “Aku menyukainya seperti halnya aku menyukaimu. Jika memang aku tak  menyukaimu,  untuk  apa  aku  harus  kenal denganmu?  Dan jika memang kata menyukai itu harus disamakan makna adanya dengan  kata  mencintai, lebih  baik  aku  tak  menyukai  dirimu ataupun   lelaki   yang   lain,   karna   sampai   saat   ini   aku   adalah seorang lelaki yang masih normal!” kataku berkelakar. Mencoba mempengaruhi  kepenasarannya  tentang kedekatanku  dan  Peri Hati tuk menghilang dari pikirannya.
Tertawa  dan  mengangguk-nganggukan  kepalanya  menjadi suatu  tanda  bagiku  bahwa  sesungguhnya Rifki  Ramdhani  telah masuk  dalam  perangkapku.  Terkelabui  kata  suka  yang  sempat aku katakan padanya.
Secepat hembusan angin yang tengah melintas di depanku, inti  dari  pembicaranku  dan  Rifki  tersebar  luas kepada  mereka Para  Tawa.  Bukan  karna  aku  yang  telah  memperdagangkannya, seperti  selayaknya seorang  pedagang  buah  jeruk  yang  sedang menjajakan    buah    jeruk    manis    di    tangannya kepada    para pelanggan  tuk  dicobanya,  sedangkan  buah  yang  akan  dijualnya dalam  pikulan  tak  lebih  dari  buah-buah  yang  masih  mentah. Atau bukan pula ada yang telah merekam pembicaraan kami itu, seperti halnya para pembajak karya-karya tangan para seniman. Namun karna selain itu telah menjadi kekurangan dari diri Rifki, tapi itu juga telah menjadi tujuannya mendekatiku dan berlanjut perbincangkan masalah itu denganku. Hingga dari kebocorannyalah   semua   penghuni   dunia   di   atas   bukit   kaki gunung  pancar  terkelabui  karna  sebuah  kata  suka  yang  sempat aku keluarkan itu. Manakala  Para Tawa  telah  benar  terkelabui kata  sukaku, jiwa  terasa  seperti  sedang  ditarik-tarik  oleh  tangan- tangan dari kedua   sisi   hati.   Satu   sisi   pikir   hati   meminta   cinta   yang disimpannya   cepat   dikatakan   meski   tanpa   harus   dipenuhi hasratnya  tuk  memiliki  Peri  Hati,  cukup  asanya  yang  diminta agar Peri tahu  kebenaran  adanya.  Dan  di  satu  sisi  hati  yang  lain seakan  mencegah  apa  yang  ingin dilakukannya  karna  berbagai alasan yang coba menakuti keadaan yang sudah cukup baik.
“Kini  cintaku  benar  adanya.  Cinta  ini  hanya  perlu pengakuannya  tanpa  harus  memperdulikan  hasrat hati  ini  tuk miliki  hatinya.  Namun  cinta  ini  tak  kuasa  tegar  bila  kebenaran tentang  cinta  ini  telah terungkap  olehnya  lewat  kejujuranku, akan  membuat  dirinya  berubah  sikap  dari  yang  sedang  aku rasakan kini. Dan biarkanlah semua berjalan seperti apa adanya kini, tanpa harus dirusak oleh kejujuran kata hati yang mungkin akan  membuatnya  jauh  dari  senyuman-senyuman  yang  selama ini    bertaburan. Dan biarkanlah    cinta    ini    bertahan    dalam kedustaan,    kemunafikan    dan    berdiri    tenang    di  belakang hatinya.” Kata  hatiku  terlontar  di  pandangan  yang  tak  henti kagumi    semua    yang    dimiliki    Peri Hati    dan    yang    telah diberikannya   kepada   siang   hari   tuk   mempercantik   pijaran matahari yang tak lelah berkerja.
Salahlah    bagi    hati    yang    benar    mencinta    yang    tulus mencinta  namunpaksakan  yang  tercinta tuk  bisa  dimiliki.  Dan bersalahlah  bagi  hati  yang  benar  mencinta  bila  tulusnya  tak cukup hanya dapatkan apa yang terbaik bagi yang dicintainya.Termuliakanlah   derajat   hati,   bila   dari   tulusnya  relakan manisnya  bahagia  jadi  pahitnya  bencana,  hanya  demi  satu  tuju tuk segenap kebahagiaan yang tulus dicintainya.
***
II
III
*** 

PERI HATI PERI CANTIK

 I
II
III
***

MASA SESAL 

 I
II
III
***

PENUTUPAN

*-* 

 Baca Novel Lengkap;
PDSBP18

Penulis: Arif JMSH
Koleksi : Novel Lainnya
Penerbit: Jmsh Words

No comments:

Post a Comment