....Langkah kedua kakiku mencoba mencari ketenangan ditengah keramaian Para Tawa dan serta para pelepas kejenuhan-kejenuhan hari. Tanganku yang telah lama menjadi sahabat sejati bagi hati ini dalam kesenangan ataupun dalam kesedihan mencoba menuangkan seluruh isi hati yang tengah menggantung di segenap rasa lewat secarik kertas dan sebatang Pena.
Terukirlah untaian kata luapan kata hati berparaskan kekaguman;
Matahari sengat gurat semangat
Tukar keringat harap terganti senja nanti
Jalani putaran waktu tanpa bertanya
Kucari ketenangan kucari keindahan hati
Mata tertegun terpaku engkau yang baru
Kebeliaan di tengah buruk kedewasaan
Hati tanyakan yang terpandangku
Engkaukah penyejuk hari kebosanan
Meski kucepat tepis rasa suka
Kali ini tak bisa kulakukan
Aku tak mampu cegah pikir hati
Kau terlalu anggun tuk terlupakan
Peri hati peri cantikku...
Bolehkah hati ini namaimu seperti itu
Akan aku panggil itu...
Meski dalam hatiku.
***
Matahari berdiri di garis senja di Kota Hujan. Pancaran cahaya kuning sayunya terbentur gunung pancar berlekuk-lekuk bergurat seni lukisan alam. Lewati raga yang tak sedikit pun terberi pijarannya. Aku yang berdiri di atas bukit kaki gunung pancar di seberang bukit pelangi. Tampak kulihat lagi Peri itu melangkah seperti benar-benar Peri yang tengah anggun terbang di atas bukit kaki gunung pancar diseberang bukit pelangi. Yang dilatari gunung pancar. Yang disoroti lampu jingga senja dari sang pijaran mentari senja di samping balik gunung Kota Hujan. Langkahnya semakin dekati jiwa yang tak mampu berontak akan keindahan yang tengah disuguhkan alam tuk dampingi hadir langkahnya. Peri Hati berdiri tak jauh dariku. Peri mulai tersenyum. Tatapan matanya seperti sedang menyapa aku yang tiba saja tak mampu tuk berkata. Hingga tiba suaranya terdengar untuk kali pertamanya di ruang dengarku; “Apakah semua yang ada di sini akan bersikap sama sepertimu? Hanya bisa terdiam ketika pandangannya dapati yang baru sedang ada di hadapannya. Ataukah dari diantara yang lain itu, hanya dirimulah yang bersikap seperti itu?” kata sapanya sembari tersenyum. Tangan kanannya menjulur ke arahku. Nantikan pinta balas jabat tangan dariku.
Secepat mungkin tangan mencoba membalas pinta jabat tangannya. “Adi,” seruku sembari tersenyum, “panggil saja aku seperti itu! Semua yang ada di sini telah terbiasa memanggilku dengan nama itu!” Laju hentak jantung berdetak kencang berpacu. Hati serasa membubung amat tinggi. “Jika kau tak keberatan, boleh aku tahu namamu?” tanyaku. Senyuman di bibir setia mendampingi.
Kedua lesung pipinya nampak semakin nyata terlihat. “Shesi, Shesi Aulianti!” serunya. Indah suaranya terdengar semakin elok terngiang dalam gendang telinga ketika bibir merah tak bergincunya mengecapkan setiap hurup-hurup namanya. Manis senyumannya yang belum jua terputus sudah pasti memabukan setiap mata yang berani memandangnya lama.
Meski Peri Hati telah memberikan namanya untuk tanyaku, akan tetapi entah kenapa hati masih tetap memanggilnya Peri Hati Peri Cantik. Yang nyata terlihat; matanya sebening kilauan cermin dalam mata air yang terkena cahaya matahari. Parasnya begitu belia tuk terlukiskan dalam kata. Senyuman dalam bibir merahnya semanis lekukan indah pelangi yang terlihat dalam keadaan terbalik. Kedua lesung pipinya laksana dua titik penyimpan keceriaan yang selama ini tak habis-habisnya ia tunjukan kepada para pasang mata yang memandangnya. Rambutnya seperti ribuan dawai harpa-harpa sang Dewi kayangan. Sibakannya seperti tengah melantunkan irama keceriaan lewat jemari sang angin dari tiupan sang Dewi kayangan yang tengah menyentuh rambut hitamnya. Kelancangan hati pun tak disesali mata. Semua yang masuk dalam ingatan menyimpan bukti kekuatan hati berkata tentang Peri. “Dirinya memang layak ternamai Peri Hati Peri Cantik. Peri yang telah membuatku tuk percayai hati sebelum nyata pandang. Peri yang memang cantik tuk dampingi sebuah arti keceriaan. Peri yang begitu mudah membuat pandangan ini menyuka.”
Kedua lesung pipinya nampak semakin nyata terlihat. “Shesi, Shesi Aulianti!” serunya. Indah suaranya terdengar semakin elok terngiang dalam gendang telinga ketika bibir merah tak bergincunya mengecapkan setiap hurup-hurup namanya. Manis senyumannya yang belum jua terputus sudah pasti memabukan setiap mata yang berani memandangnya lama.
Meski Peri Hati telah memberikan namanya untuk tanyaku, akan tetapi entah kenapa hati masih tetap memanggilnya Peri Hati Peri Cantik. Yang nyata terlihat; matanya sebening kilauan cermin dalam mata air yang terkena cahaya matahari. Parasnya begitu belia tuk terlukiskan dalam kata. Senyuman dalam bibir merahnya semanis lekukan indah pelangi yang terlihat dalam keadaan terbalik. Kedua lesung pipinya laksana dua titik penyimpan keceriaan yang selama ini tak habis-habisnya ia tunjukan kepada para pasang mata yang memandangnya. Rambutnya seperti ribuan dawai harpa-harpa sang Dewi kayangan. Sibakannya seperti tengah melantunkan irama keceriaan lewat jemari sang angin dari tiupan sang Dewi kayangan yang tengah menyentuh rambut hitamnya. Kelancangan hati pun tak disesali mata. Semua yang masuk dalam ingatan menyimpan bukti kekuatan hati berkata tentang Peri. “Dirinya memang layak ternamai Peri Hati Peri Cantik. Peri yang telah membuatku tuk percayai hati sebelum nyata pandang. Peri yang memang cantik tuk dampingi sebuah arti keceriaan. Peri yang begitu mudah membuat pandangan ini menyuka.”
Tangan sang sahabat sejati bagi hati tuk kedua kalinya mencoba mengauliakan kata hati lewat ukiran-ukirannya. Bersama sang jingga senja yang perlahan pudar menghitam. Kata hati tertulis di sehelai kertas putih bergaris-garis biru langit;
Tak kusangka
Hatiku benar namaimu di hati
Engkau benar bak peri
Melintasi sabana lintas kertas
Percik ceriamu tertabur disetiap langkahmu
Rentang sayapmu teduhkan pandangan
Senyum anggunmu buat hati luluh
Kebeliaanmu mudakan seluruh masa
Tepat hadirmu di tawarnya hari
Gores cerita nyata mewarnai
Teruslah ceriakan hati
Mata tak kan bosan mengagumi
Peri hati peri cantikku.
***
TUK PERI HATI
I
MESKI KELUKAAN sempat menerjang benih cinta dan mengacau-balaukan taburannya. Namun akhirnya cinta ini bisa bertumbuh menjadi tunas. Dan kini berubah merindangi segenap taman hati. Akar-akarnya menyelusup merambat di bantaran-bantaran hati, hingga tak mungkin ada suatu hal apapun yang bisa dengan mudah menebangnya. Dan itupun tak lepas dari peran pandangan Para Tawa yang dangkal tentang isi hati ini. Yang telah memberikan duka dan luka sebagai pemupuknya.Cinta mereka telah berubah menjadi arti penyekat tuk kedekatan yang selama ini terwujud. Dari cinta itu hanya membuahkan suatu keterbatasan menyapa diantara mereka. Tak ada lagi canda, tawa, keriangan, apalagi kemesraan yang seharusnya diberikan sang cinta bagi mereka yang sedang memeluknya. Yang nyata terlihat dari mereka, sang cinta seperti memberi sebuah dinding penyekat untuknya saling mencumbui seluruh rasa hati yang tengah mereka miliki. Dan akhir daripada itu, tebalnya dinding tak mampu mereka hadapi. Mereka saling membelakangi dan memutuskan tuk tak lagi pertahankan cinta yang selama ini telah memberi mereka ketidaktentuan rasa di hati.
Bersyukur dan terkutuklah bagiku yang begitu amat bahagia ketika mengetahui Peri Hati tak terpeluk lagi cinta Kemal sang kumbang yang mendekati kata sempurna itu. Dan kembalilah lagi semua yang pernah hilang dari pandangan. Peri Hati kembali seperti apa yang pernah ia tunjukan sebelumnya. Senyuman manisnya seperti telah terlepas dari rantai-rantai yang selama ini telah membelenggu sayap-sayap keceriannya. Tarian cerianya kembali terlihat bebas tanpa syarat akan ketidakpastian arah angin pandangan yang sempat tak terkendali.Dan bersama bahagia hati yang tak terkira kini. Meragulah bagi hatiku yang semakin dalam mencintai Peri Hati Peri Cantik. Keadaanku seperti semakin menyadarkanku, aku yang jauh berbeda dengan Kemal yang pernah menjadi Kekasihnya. Keadaanku bercermin di keadaan Peri hati dan Kemal. Cinta membuatnya berdiri diantara kekakuan bertabiat dalam cerita. Meski kini cinta tak lagi mengikatnya namun putusnya tali cinta tak bisa mengubah kedekatan yang selama ini mereka miliki itu kembali ke sediakala. Seperti saat kata cinta mereka masih terbelenggu dalam hati.
“Meski hati ini memeluk dalamnya cinta untuknya, namun aku tak pernah menginginkan semuanya berubah menjadi apa yang kini kurasa dan kulihat dari mereka!” bisik hatiku.Dalam bisik rayuan keraguan, langkah hati mencoba terus dalami indah cinta yang dimiliki. Tangan-tangan cinta seperti semakin memeluk dekap erat hati yang bahagia meski Peri Hati ataupun Para Tawa tak pernah tahu tentang cinta yang sedang memayungi hari-hariku.Aku dan Peri Hati semakin dekat. Jarak kami tak terbatasi rekan kerja. Tak tersekati tabiat raga yang menyimpan cinta sendirian. Hingga tanpa tersadari pikir, kedekatan kami yang telah terbina dengan sedemikian rupa itu, ternyata telah menjadi buah bibir bagi Para Tawa. Mereka bagai seekor ayam yang tengah mencabik-cabik sebidang tanah tuk mencari seekor cacing tuk memenuhi hasrat lapar perutnya. Pandangan mereka seakan selalu tak henti mencari titik pusat alasan tentang kedekatan yang telah kami ciptakan itu.
Hingga suatu ketika salah satu dari mereka, Para Tawa, Rifki Ramdhani, mencoba mencari jalan pemuas tuk seluruh rasa kepenasarannya. Aku dan Rifki duduk di bawah payungan awan yang sedikit mendung. Jauh dari sebagian Para Tawa yang lain. Jauh dari Peri hati yang tengah satu canda dengan mereka sekaumnya.
“Kau bisa lihat dia? Sungguh, dia memang cantik!” ujarnya. Pandangannya tak lepas dari Peri Hati yang tengah dilingkari penuh senyuman, “seandainya saja dia belum tahu bahwasanya aku sudah punya kekasih, aku pasti akan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya!” Pandangannya beralih menatap ke arahku. Setia menunggu bibirku tergerak berkata untuk masuk ke dalam topik pembicaraannya.
“Hanya lelaki berjiwa wanitalah yang tak menyukai sesosok wanita seperti Shesi Aulianti! Dan hanya lelaki yang buta matanyalah yang tak menyukainya, baik disaat pertama kali ia melihatnya ataupun untuk yang kesekian kalinya!” ujarku sembari tersenyum.
“Jadi selama ini kau menyukainya?” katanya terkejut.
“Apakah kau sudah mengatakan kepadanya, bahwa kau menyukainya?” sambung katanya. Tatapan matanya tampak bergairah menunggu jawabanku.
“Untuk apa aku mengatakannya? Tanpa harus kukatakan pun aku yakin dia pasti akan tahu dengan sendirinya!” kataku sembari tertawa kecil.
“Kau bisa lihat dia? Sungguh, dia memang cantik!” ujarnya. Pandangannya tak lepas dari Peri Hati yang tengah dilingkari penuh senyuman, “seandainya saja dia belum tahu bahwasanya aku sudah punya kekasih, aku pasti akan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya!” Pandangannya beralih menatap ke arahku. Setia menunggu bibirku tergerak berkata untuk masuk ke dalam topik pembicaraannya.
“Hanya lelaki berjiwa wanitalah yang tak menyukai sesosok wanita seperti Shesi Aulianti! Dan hanya lelaki yang buta matanyalah yang tak menyukainya, baik disaat pertama kali ia melihatnya ataupun untuk yang kesekian kalinya!” ujarku sembari tersenyum.
“Jadi selama ini kau menyukainya?” katanya terkejut.
“Apakah kau sudah mengatakan kepadanya, bahwa kau menyukainya?” sambung katanya. Tatapan matanya tampak bergairah menunggu jawabanku.
“Untuk apa aku mengatakannya? Tanpa harus kukatakan pun aku yakin dia pasti akan tahu dengan sendirinya!” kataku sembari tertawa kecil.
Rifki Ramdhani terdiam dalam kebisuannya.
Kebingungannya yang tengah berdiri di atas rasa kepenasarannya telah membuat dirinya harus mengerutkan keningnya.
“Kenapa diam? Bukankah yang sempat kau tanyakan kepadaku itu adalah sebuah kata; menyukai, dan bukanlah sebuah kata; mencintai?” ujarku sembari tersenyum. “Aku menyukainya seperti halnya aku menyukaimu. Jika memang aku tak menyukaimu, untuk apa aku harus kenal denganmu? Dan jika memang kata menyukai itu harus disamakan makna adanya dengan kata mencintai, lebih baik aku tak menyukai dirimu ataupun lelaki yang lain, karna sampai saat ini aku adalah seorang lelaki yang masih normal!” kataku berkelakar. Mencoba mempengaruhi kepenasarannya tentang kedekatanku dan Peri Hati tuk menghilang dari pikirannya.
Kebingungannya yang tengah berdiri di atas rasa kepenasarannya telah membuat dirinya harus mengerutkan keningnya.
“Kenapa diam? Bukankah yang sempat kau tanyakan kepadaku itu adalah sebuah kata; menyukai, dan bukanlah sebuah kata; mencintai?” ujarku sembari tersenyum. “Aku menyukainya seperti halnya aku menyukaimu. Jika memang aku tak menyukaimu, untuk apa aku harus kenal denganmu? Dan jika memang kata menyukai itu harus disamakan makna adanya dengan kata mencintai, lebih baik aku tak menyukai dirimu ataupun lelaki yang lain, karna sampai saat ini aku adalah seorang lelaki yang masih normal!” kataku berkelakar. Mencoba mempengaruhi kepenasarannya tentang kedekatanku dan Peri Hati tuk menghilang dari pikirannya.
Tertawa dan mengangguk-nganggukan kepalanya menjadi suatu tanda bagiku bahwa sesungguhnya Rifki Ramdhani telah masuk dalam perangkapku. Terkelabui kata suka yang sempat aku katakan padanya.
Secepat hembusan angin yang tengah melintas di depanku, inti dari pembicaranku dan Rifki tersebar luas kepada mereka Para Tawa. Bukan karna aku yang telah memperdagangkannya, seperti selayaknya seorang pedagang buah jeruk yang sedang menjajakan buah jeruk manis di tangannya kepada para pelanggan tuk dicobanya, sedangkan buah yang akan dijualnya dalam pikulan tak lebih dari buah-buah yang masih mentah. Atau bukan pula ada yang telah merekam pembicaraan kami itu, seperti halnya para pembajak karya-karya tangan para seniman. Namun karna selain itu telah menjadi kekurangan dari diri Rifki, tapi itu juga telah menjadi tujuannya mendekatiku dan berlanjut perbincangkan masalah itu denganku. Hingga dari kebocorannyalah semua penghuni dunia di atas bukit kaki gunung pancar terkelabui karna sebuah kata suka yang sempat aku keluarkan itu. Manakala Para Tawa telah benar terkelabui kata sukaku, jiwa terasa seperti sedang ditarik-tarik oleh tangan- tangan dari kedua sisi hati. Satu sisi pikir hati meminta cinta yang disimpannya cepat dikatakan meski tanpa harus dipenuhi hasratnya tuk memiliki Peri Hati, cukup asanya yang diminta agar Peri tahu kebenaran adanya. Dan di satu sisi hati yang lain seakan mencegah apa yang ingin dilakukannya karna berbagai alasan yang coba menakuti keadaan yang sudah cukup baik.
“Kini cintaku benar adanya. Cinta ini hanya perlu pengakuannya tanpa harus memperdulikan hasrat hati ini tuk miliki hatinya. Namun cinta ini tak kuasa tegar bila kebenaran tentang cinta ini telah terungkap olehnya lewat kejujuranku, akan membuat dirinya berubah sikap dari yang sedang aku rasakan kini. Dan biarkanlah semua berjalan seperti apa adanya kini, tanpa harus dirusak oleh kejujuran kata hati yang mungkin akan membuatnya jauh dari senyuman-senyuman yang selama ini bertaburan. Dan biarkanlah cinta ini bertahan dalam kedustaan, kemunafikan dan berdiri tenang di belakang hatinya.” Kata hatiku terlontar di pandangan yang tak henti kagumi semua yang dimiliki Peri Hati dan yang telah diberikannya kepada siang hari tuk mempercantik pijaran matahari yang tak lelah berkerja.
Salahlah bagi hati yang benar mencinta yang tulus mencinta namunpaksakan yang tercinta tuk bisa dimiliki. Dan bersalahlah bagi hati yang benar mencinta bila tulusnya tak cukup hanya dapatkan apa yang terbaik bagi yang dicintainya.Termuliakanlah derajat hati, bila dari tulusnya relakan manisnya bahagia jadi pahitnya bencana, hanya demi satu tuju tuk segenap kebahagiaan yang tulus dicintainya.
Secepat hembusan angin yang tengah melintas di depanku, inti dari pembicaranku dan Rifki tersebar luas kepada mereka Para Tawa. Bukan karna aku yang telah memperdagangkannya, seperti selayaknya seorang pedagang buah jeruk yang sedang menjajakan buah jeruk manis di tangannya kepada para pelanggan tuk dicobanya, sedangkan buah yang akan dijualnya dalam pikulan tak lebih dari buah-buah yang masih mentah. Atau bukan pula ada yang telah merekam pembicaraan kami itu, seperti halnya para pembajak karya-karya tangan para seniman. Namun karna selain itu telah menjadi kekurangan dari diri Rifki, tapi itu juga telah menjadi tujuannya mendekatiku dan berlanjut perbincangkan masalah itu denganku. Hingga dari kebocorannyalah semua penghuni dunia di atas bukit kaki gunung pancar terkelabui karna sebuah kata suka yang sempat aku keluarkan itu. Manakala Para Tawa telah benar terkelabui kata sukaku, jiwa terasa seperti sedang ditarik-tarik oleh tangan- tangan dari kedua sisi hati. Satu sisi pikir hati meminta cinta yang disimpannya cepat dikatakan meski tanpa harus dipenuhi hasratnya tuk memiliki Peri Hati, cukup asanya yang diminta agar Peri tahu kebenaran adanya. Dan di satu sisi hati yang lain seakan mencegah apa yang ingin dilakukannya karna berbagai alasan yang coba menakuti keadaan yang sudah cukup baik.
“Kini cintaku benar adanya. Cinta ini hanya perlu pengakuannya tanpa harus memperdulikan hasrat hati ini tuk miliki hatinya. Namun cinta ini tak kuasa tegar bila kebenaran tentang cinta ini telah terungkap olehnya lewat kejujuranku, akan membuat dirinya berubah sikap dari yang sedang aku rasakan kini. Dan biarkanlah semua berjalan seperti apa adanya kini, tanpa harus dirusak oleh kejujuran kata hati yang mungkin akan membuatnya jauh dari senyuman-senyuman yang selama ini bertaburan. Dan biarkanlah cinta ini bertahan dalam kedustaan, kemunafikan dan berdiri tenang di belakang hatinya.” Kata hatiku terlontar di pandangan yang tak henti kagumi semua yang dimiliki Peri Hati dan yang telah diberikannya kepada siang hari tuk mempercantik pijaran matahari yang tak lelah berkerja.
Salahlah bagi hati yang benar mencinta yang tulus mencinta namunpaksakan yang tercinta tuk bisa dimiliki. Dan bersalahlah bagi hati yang benar mencinta bila tulusnya tak cukup hanya dapatkan apa yang terbaik bagi yang dicintainya.Termuliakanlah derajat hati, bila dari tulusnya relakan manisnya bahagia jadi pahitnya bencana, hanya demi satu tuju tuk segenap kebahagiaan yang tulus dicintainya.
***
II
III
***
PERI HATI PERI CANTIK
I
II
III
***
MASA SESAL
I
II
III
***
PENUTUPAN
*-*
Baca Novel Lengkap;
Penulis: Arif JMSH
Koleksi : Novel Lainnya
Penerbit: Jmsh Words
No comments:
Post a Comment